Pernahkan anda diputus hubungan dengan orang tua, dipecat sebagai anak, saya yakin jawabnya ‘’belum pernah’’. Tapi berbeda dengan saya, gara gara sepele, saya hampir hampir saja diputus hubungan dengan orang tua dan tidak diakui sebagai anak.
Kisah ini bukan dongeng bukan hayal, tapi faktual walaupun tidak aktual lagi karena peristiwanya sudah sangat lama terjadinya.
Kejadian ini saya alami saat  masih kuliah di Yogyakarta, yang namanya orang kuliahan, apalagi masih awal tahun, pasti segala sesuatunya masih tergantung dari kiriman dan pasokan orang tua.
Orang tua di kampung sudah punya jadwal kapan harus ngirim uang makan untuk anak, tetapi untuk kebutuhan yang sifatnya insidental, pastinya harus mengabarkan dulu.
Cilakanya, jaman sa’MONO, alat komunikasi tidak secanggih sekarang, hingga kabar kabari antara anak dan orang tua hanya melalui surat, kalau ingin cepat ya Telegram, kecuali bagi orang kota bisa telpon interlokal bagi yang punya telpon.
Saya adalah yang termasuk katagori bukan orang kota, hingga untuk mengabarkan secara cepat menggunakan jasa ‘’Telegram’’.
Suatu ketika, saya butuh kiriman uang untuk bayar kuliah, maka saya kabarkanlah kepada orang tua supaya segera mengirimkan uang. Kiriman saat itu masih menggunakan wesel, jarang orang yang memakai jasa Bank, apalagi orang kampung seperti saya.
Berhari hari saya menunggu kiriman, biasanya pakai alamat Kampus, bolak balik melihat dinding pengumuman Wesel tidak ada juga.
Petaka datang, bukan Wesel yang datang, tapi kakak Ipar saya dari kampung membawa secarik kertas. Singkat cerita, saya harus menanda tangani surat pernyataan, Isinya ‘’ Mulai detik ini, dinyatakan putus hubungan antara orang tua dan anak’’.
Kaget bukan kepalang, sayapun betanya, ‘’Sebetulnya ini ada apa, kok saya di pecat jadi anak’’.
Kakak menjelaskan bahwa, katanya saya sudah durhaka sama orang tua. Ditunjukkanlah secarik kertas ‘’Telegram’’.
‘’Nih baca’’, kata kakak.
Saya kemudian baca,  ‘’egga ada yang aneh’’, kata saya.
Ini lo ‘’Kepada Yth, Ayahanda Tuanku .........’’, kata kakak seraya membaca dan menunjukkan tulisan yang ada dalam telegram.
‘’Kata Tuanku itu yang dianggap menghina ayah, karena ayah disamakan dengan Tuhan’’, lanjut kakak.
Ya ampun, itu masalahnya, tapi sayapun maklum karena orang tua saya ada di kampung yang jarang mendengar atau dipanggil Tuan, dikiranya Tuan itu sama dengan Tuhan.
Namun demikian, saya membantah tentang tulisan Tuan, tiap ngirim telegram saya hanya menulis ‘’Kepada Yth; Ayanda………’’.
Untuk mencari pembenaran, ahirnya saya dan kakak ditemani oleh Alm Edy Syuaidi, mencari berkas di kantor Telegram, syukur ketemu. Jelas tulisan di Permohonan Telegram yang masih tulis tangan tertera ‘’Kepada Yth; Ayanda…..’’, tanpa embel embel ‘’Tuanku’’.
Ahirnya suasana mencair, berkas asli Telegram di bawa balik ke Kampung, Pemecatan sebagai anakpun tidak jadi dan terahir saya dikasih uang.
TAMAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H