Pilkada serentak di 270 daerah yang digelar 23 September 2020 dipastikan ditunda. Kepastian penundaan Pilkada itu diputuskan pasca diketoknya Perppu penundaan Pilkada oleh Jokowi. Pertimbangan utama menunda pilkada ialah keselamatan dan kesehatan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Tentu saja termasuk keselamatan dan kesehatan pemilih, calon kepala daerah, dan penyelenggara pilka da.
Perppu diketok untuk mengubah ketentuan Pasal 201 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Bunyi ayat itu, "Pemungutan suara serentak gubernur dan wakil gubermur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wa kil wali kota hasil pemilihan tahun 2015 dilaksa nakan pada bulan September tahun 2020."
Meski Perppu tersebut menunda Pilkada hingga 9 Desember, namun apabila kondisi belum membai, Pilkada masih dapat ditunda kembali. Hal tersebut terjadi sebab antara Pasal 201 dan Pasal 202 UU Pilkada disisipkan satu pasal, yakni Pasal 201A di dala Perppu yang mengatur mengenai penundaan pemungutan suara. ayat (1) pasal tersebut mengatur bahwa pemungutan suara Pilkada 2020 ditunda karena bencana non alam, dalam hal ini adalah pandemi Covid-19 di Tanah Air. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember 2020. Namun, dalam ayat (3) diatur bahwa pemungutan suara dapat diundur lagi apabila memang pada bulan Desember 2020 pemungutan suara belum bisa dilaksanakan.
Risiko Pemotongan Masa Jabatan
Menjadi menarik sebab banyak penelitian yang memprediksi wabah Covid-19Â akan berakhir dan pulih total pada tahun 2021. Sehingga terdapat kemungkinan untuk kembali menunda Pilkada hingga 29 September 2021. Apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka konsekuensinya masa jabatan 270 kepala daerah itu tidak sampai 5 tahun, tetapi hanya sekitar dua tahun.
Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 meryebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, sertawai kota dan wakil walikota hasil Pilkada 2020 menjabat sampai dengan 2024. Tepatnya hingga November 2024, yang menurut Pasal 201 ayat (8), ialah pikada serentak nasional.
Jika Pilkada ditunda hingga September 2021 maka pelantikan kepala daerah, apabila tidak ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi, bisa dilakukan paling lambat Februari 2022. Jika ada gugatan, mengingat proses penyelesaian perselisihan hasil pilkada selama 45 hari di MK, pelantikan bisa dilakukan pada Maret 2022. Dengan demikian, masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2021 jika opsi tiga yang dpilih) hanyalah dua tahun lebih.Â
Pikada yang bakal menelan biaya Rp15 triliun itu hanya untuk memilih kepada daerah yang masa jabatannya tidak sampai 3 tahun. Berapa kerugian yang ditanggung kepala daerah terpilih? Mendagri Tito Karnavian menyebut angka sedikitnya Rp30 miliar dapat dikeluarkan calon bupati untuk pencalonan Pilkada langsung. Pengeluaran yang besar calon ke pala daerah tidak sebanding dengan penghasilan resminya.
Tito menyebut penghasilan resmi Rp. 200 juta per bulan sehingga setahun mencapai Rp. 24 miliar. Jika masa jabatan kepala daerah hanya dua tahun, penghasilan resminya Rp. 48 miliar. Dengan demikian, calon kepala daerah rugi Rp. 25,2 miliar. Potensi kerugian itulah yang menyandera kepala daerah sehingga tergoda korupsi bisa jadi, dalam dua tahun masa jabatan itu, kepala daerah hanya fokus mengisi kembali pundi-pundi uang yang dikeluarkannya selama proses pilkada berlangsung. Tidak ada waktu lagi bekerja untuk memakmurkan rakyat. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi harus membuka mata lebar-lebar, setidaknya memberikan asistensi sehingga kepala daerah tidak terciduk korupsi.
Realokasi Anggaran Pilkada
Di sisi lain pastinya pemerintah akan melakukan realokasi anggaran pilkada agar dapat digunakan menangani pandemi Covid-19. Dana pilkada yang sudah dianggarkan, tetapi belum terpakai dapat ditarik kembali oleh kepala daerah untuk mendukung penanganan wabah Covid-19 di daerah masing-masing. Namun, realokasi dana Pilkada 2020 ini membutuhkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).