Memang tidak ada yang salah jika mereka membeli barang seisi toko. Pasar seakan tidak peduli dengan masalah moral, keadilan, dan kesejahteraan hidup semua manusia.
Pasar tidak peduli terhadap spekulan yang tiba-tiba memborong stok masker sampe ludes. Invisible hand adalah istilah ekonomi pada situasi seperti ini.
Yang menjadi ironi adalah perilaku kita yang mematikan kerasionalan. Padahal pemerintah sendiri sudah menyatakan stok pangan cukup, jadi tidak perlu lah belanja berlebihan karena panik.
Akibat  kepanikan sebagai droplet menular ini memunculkan peluang kenaikan harga yang semakin tinggi atau terjadinya inflasi, yang berujung pada terganggunya stabilitas sistem keuangan.
Kita harusnya sadar bahwa kita adalah manusia yang saling bersaudara justru sebenarnya dapat bekerja sama untuk menyelamatkan diri kita semua, tanpa perlu ada yang harus dikorbankan.
Panic Selling Tidak Sepenuhnya dapat Menyelamatkan Investasi
Jika di pasar konvensional terjadi panic buying, Â maka di pasar modal terjadi panic selling. Panic selling juga merupakan reaksi yang muncul dari rasa takut berlebihan akibat harga saham jatuh. Sehingga membuat para pemilik saham menjual sahamnya tanpa menggunakan pertimbangan fundamental.
Memang, akibat pandemi ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang normalnya berharga Rp.6.000 sempat anjlok ke harga Rp.4500. Namun panic selling ini tentu saja berbahaya untuk perekonomian.
Namun itu tidak berhenti di sana karena panic selling akan berlanjut yang beresiko merusak pasar modal. Bayangkan jika fenomena panic selling dan panic buying terjadi berbarengan maka akan terjadi kehancuran perekonomian yang dahsyat. Imbasnya tentu saja akan menghancurkan perekonomian dunia.
Jika itu sampai terjadi maka akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan, kehilangan dana pensiun, kehilangan rumah yang mungkin akan menyebabkan kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya akan terjadi. Bila skenario terburuk ini sampai terjadi, maka manusia yang selalu mengaku beradab bisa menjadi biadab, manusia bisa kehilangan sisi kemanusiaan itu.
Dengan kondisi saat ini perlukah kita melakukan reedeming terhadap investasi kita?
Jawabannya tidak, sebab bisa saja kita kehilangan kesempatan untuk take profit setelah dunia investasi kembali normal. Bukankah kita juga pernah berhasil melewati krisis 1998? Saat itu harga dollar yang mencapai 17.000 rupiah dapat drastis menguat hingga 8.000 rupiah per dollarnya.