Jika membahas mengenai Kabupaten Garut yang terlintas di benak banyak orang untuk pertama kalinya pasti adalah soal kuliner khas dodol, festival adu domba dan panorama alam indahnya yang dikelilingi oleh pegunungan. Bahkan Kabupaten Garut tempo dulu tepatnya pada masa kolonial Hindia Belanda sangat populer di kalangan orang Eropa, sehingga mendapat julukan “Zwitserland Van Java” yang berarti Swiss di Pulau Jawa, karena kemiripan bentangan alamnya dengan Negara Swiss di Eropa. Barisan Gunung Guntur, Gunung Papandayan, Gunung Cikuray dan Gunung Galunggung diibaratkan sebagai Pegunungan Alpen, lalu Sungai Cimanuk yang besar dan membelah Kota Garut diibaratkan sebagai Sungai Aaere.
Sejarah juga mencatat bahwa beberapa pesohor dunia seperti legenda film sekaligus bintang Hollywood Charlie Chaplin, Raja Leopold III dan Permaisuri Astrid dari Belgia, Pangeran Nicholas dari Rusia, Pangeran George II dari Yunani hingga Pangeran Frans Ferdinand dari Austria yang dikenal karena kematiannya memicu perang dunia pertama pernah menginjakkan kaki di tanah Garut (Kusumo, 2020). Ratu Belanda Wilhelmina bahkan disebut memiliki tempat peristirahatan di Garut.
Setelah era kemerdekaan Indonesia tepatnya pada tahun 1951, Presiden Soekarno pernah berkunjung ke Garut guna menghadiri acara penyerahan Piala Adipura yang merupakan penganugerahan Kabupaten Garut sebagai kota/kabupaten terbersih se-Indonesia. Babancong yang berada tepat di Alun-alun Kota Garut menjadi saksi saat Presiden Soekarno memberikan pidato di hadapan masyarakat Garut. Dalam pidatonya tersebut, Presiden Soekarno memberikan julukan baru bagi Garut yaitu “Kota Intan” yang merupakan akronim dari kata “Indah, Tertib, Aman dan Nyaman” (Ghani, 2022).
Kini penghargaan yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Kabupaten Garut sebagai kota/kabupaten terbersih se-Indonesia tahun 1951 lalu diabadikan dalam bentuk Tugu Adipura yang terdapat di persimpangan Alun-alun Kecamatan Tarogong, sekaligus menjadi penanda kedatangan pendatang di wilayah Garut, seperti Tugu Selamat Datangnya Jakarta yang terletak di Bundaran HI.
Berbeda zaman, berbeda pula kondisinya, peribahasa tersebut menggambarkan kondisi Kabupaten Garut saat ini yang tidak seindah dulu. Bahkan sepertinya julukan “Zwitserland Van Java” dan "Kota Intan” sudah tidak cocok disematkan kepada Kabupaten Garut yang dihadapi dengan berbagai persoalan dan permasalahan lingkungan hidup.
Banyak gunung-gunung di Garut yang rusak karena aktivitas pertambangan pasir dan batu, sungai yang tercemar limbah pabrik dan rumah tangga, sampah yang berserakan dimana-mana hingga kerusakan hutan dari hulu ke hilir. Semua persoalan dan permasalahan lingkungan hidup di Garut akibatnya dapat tergambar dari peristiwa banjir bandang Sungai Cimanuk yang terjadi pada tahun 2016 lalu. Jika ditelusuri lebih dalam dari penyebab banjir bandang tersebut adalah karena kerusakan hutan yang terjadi di hulu Sungai Cimanuk atau di Daerah Aliran Sungai (DAS).
Di daerah perkotaan Garut tepatnya di Kecamatan Garut Kota dan Kecamatan Tarogong, sungai-sungai sudah seakan menjadi tempat sampah raksasa yang kotor dengan air keruh berwarna coklat dan hitam. Pada daerah pemukiman penduduk dan fasilitas umum seperti di sisi jalan kecil, jalan raya, trotoar, depan sekolah, terminal hingga pasar juga terlihat kotor dipenuhi sampah, apalagi memasuki musim penghujan tempat-tempat tersebut menjadi becek sehingga sampah yang berserakan menghasilkan bau yang tidak sedap dan dapat mengganggu siapa saja yang melaluinya.
Di daerah pinggiran Garut seperti di Kecamatan Kadungora yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung, Kecamatan Leles, Kecamatan Banyuresmi, Kecamatan Leuwigoong sampai daerah-daerah di wilayah Garut bagian selatan dapat ditemukan gunung-gunung dan perbukitan yang rusak bahkan rata dengan tanah akibat aktivitas pertambangan pasir dan batu.
Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mundur ke satu dekade lalu, Kabupaten Garut merupakan wilayah yang bermayoritaskan hutan-hutan yakni sebesar 40%. Seiring dengan perkembangan sektor pariwisata, tambang dan pertanian dalam beberapa tahun terakhir membuat luasnya hutan jadi semakin mengecil (Sucahyo, 2016).
Tidak lupa tren wisata alam yang digandrungi anak-anak muda masa kini banyak bermunculan di Garut. Wisata-wisata alam ini biasanya merupakan hasil dari kerja sama antara para pemilik usaha dengan pemerintah Kabupaten Garut untuk dapat membangun sarana pariwisata di kawasan hutan konservasi.
Izin dari pemerintah Kabupaten Garut untuk pembangunan wisata alam di kawasan hutan konservasi juga seakan mudah didapatkan. Pada kasus pembangunan wisata alam ini menjadikan 10% dari lahan hutan konservasi di Garut tertutup beton yang berupa pembangunan hotel dan sarana hiburan penunjang pariwisata (Sucahyo, 2016).
Kembali ke persoalan sampah, menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Garut (dalam Rudiawan, 2019) jumlah sampah yang di hasilkan oleh rumah tangga dan pabrik di Kabupaten Garut tidak sebanding dengan jumlah fasilitas penunjang untuk mengatasinya, seperti jumlah tempat sampah di daerah pemukiman dan beberapa fasilitas umum yang masih kurang, hingga jumlah angkutan armada truk sampah yang masih sangat sedikit. Kabupaten Garut Sendiri pada wilayah perkotaan nya saja menyumbang sampah mencapai 500 ton meter kubik per hari dan jika ditotal dan digabungkan dengan seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Garut, sampah per harinya bisa mencapai 1000 ton meter kubik.
Masalah lain muncul ketika infrastruktur jalan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kabupaten Garut tepatnya di TPA Pasir Bajing mengalami kerusakan yang parah, ditambah lagi daerah tersebut memiliki topografi yang berbukit, membuat truk sampah sulit melintas (Rudiawan, 2019). Selain itu, sama seperti kota-kota dan daerah lain di Indonesia, TPA di Kabupaten Garut belum memiliki alat pengolah sampah modern yang lebih ramah lingkungan, sehingga sampah hanya dibakar begitu saja.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kerusakan lingkungan hidup di Kabupaten Garut yang membuat pesona keindahannya hancur diakibatkan oleh masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitarnya. Selain itu pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Garut lengah dalam memberikan pengawasan terhadap daerah-daerah hutan kawasan konservasi, sehingga marak penyalahgunaan lahan kepada hal yang tidak semestinya. Kurangnya fasilitas atau sarana penunjang pengolahan sampah juga harus menjadi perhatian dari Pemerintah Kabupaten Garut.
Kemudian partisipasi dari masyarakat Garut untuk menjaga lingkungan hidup di Kabupaten Garut dan mengawal kebijakan pemerintah Kabupaten Garut sangat dibutuhkan. Adapun bentuk partisipasi ini dapat berupa buah pikiran, harta benda, tenaga, keterampilan dan partisipasi sosial (Kania, 2018). Bukan tidak mungkin bencana alam seperti yang terjadi di Sungai Cimanuk pada tahun 2016 yang menyebabkan banyaknya korban jiwa dapat terulang kembali jika masyarakat dan pemerintah di Kabupaten Garut masih kurang sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Akhir kata masyarakat Garut yang bermayoritaskan masyarakat Sunda dapat kembali mengadopsi nilai-nilai tradisional masyarakat Sunda yang lebih dekat dengan alam. Falsafah orang Sunda seperti kata pepatah “Mulasara Buana” memiliki arti bahwa manusia harus memelihara alam semesta dan hidup selaras dengan alam juga pencipta-Nya. Sementara itu seperti kata M. A. W Brouwer seorang tokoh Belanda yang mengatakan “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum” mengisyaratkan bahwa tanah atau Bumi Pasundan yang indah tidak seharusnya dirusak demi menjaga keindahannya.
Referensi:
Ghani, Hakim. 2022. Soekarno dan Asal-usul Garut Dijuluki Kota Intan. https://www.detik.com/jabar/berita/d-5981692/soekarno-dan-asal-usul-garut-dijuluki-kota-intan. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.
Kania, Ikeu. 2018. Dampak Partisipasi Masyarakat Menjaga Lingkungan di Pusat Kota Garut. Jurnal Papatung Vol. 1 No. 3 Tahun 2018.
Kusumo, Rizky. 2020. Kisah Pelesiran Putra Mahkota Rusia dan Pesohor Eropa di Tanah Priangan. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/03/25/kisah-pelesiran-putra-mahkota-rusia-dan-pesohor-eropa-di-tanah-priangan. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.
Rudiawan, Irwan. 2019. Garut Darurat Sampah, Akibat Minimnya Armada Angkutan. https://rri.co.id/1399-lingkungan-hidup/637790/garut-darurat-sampah-akibat minimnya-armada-angkutan. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.
Sucahyo, Nurhadi. 2016. Kerusakan Lingkungan Penyebab Bencana di Garut. https://www.voaindonesia.com/a/kerusakan-lingkungan-penyebab-bencana-di-garut/3520523.html. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H