Kembali ke persoalan sampah, menurut Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Garut (dalam Rudiawan, 2019) jumlah sampah yang di hasilkan oleh rumah tangga dan pabrik di Kabupaten Garut tidak sebanding dengan jumlah fasilitas penunjang untuk mengatasinya, seperti jumlah tempat sampah di daerah pemukiman dan beberapa fasilitas umum yang masih kurang, hingga jumlah angkutan armada truk sampah yang masih sangat sedikit. Kabupaten Garut Sendiri pada wilayah perkotaan nya saja menyumbang sampah mencapai 500 ton meter kubik per hari dan jika ditotal dan digabungkan dengan seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Garut, sampah per harinya bisa mencapai 1000 ton meter kubik.
Masalah lain muncul ketika infrastruktur jalan ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Kabupaten Garut tepatnya di TPA Pasir Bajing mengalami kerusakan yang parah, ditambah lagi daerah tersebut memiliki topografi yang berbukit, membuat truk sampah sulit melintas (Rudiawan, 2019). Selain itu, sama seperti kota-kota dan daerah lain di Indonesia, TPA di Kabupaten Garut belum memiliki alat pengolah sampah modern yang lebih ramah lingkungan, sehingga sampah hanya dibakar begitu saja.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kerusakan lingkungan hidup di Kabupaten Garut yang membuat pesona keindahannya hancur diakibatkan oleh masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan sekitarnya. Selain itu pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Garut lengah dalam memberikan pengawasan terhadap daerah-daerah hutan kawasan konservasi, sehingga marak penyalahgunaan lahan kepada hal yang tidak semestinya. Kurangnya fasilitas atau sarana penunjang pengolahan sampah juga harus menjadi perhatian dari Pemerintah Kabupaten Garut.
Kemudian partisipasi dari masyarakat Garut untuk menjaga lingkungan hidup di Kabupaten Garut dan mengawal kebijakan pemerintah Kabupaten Garut sangat dibutuhkan. Adapun bentuk partisipasi ini dapat berupa buah pikiran, harta benda, tenaga, keterampilan dan partisipasi sosial (Kania, 2018). Bukan tidak mungkin bencana alam seperti yang terjadi di Sungai Cimanuk pada tahun 2016 yang menyebabkan banyaknya korban jiwa dapat terulang kembali jika masyarakat dan pemerintah di Kabupaten Garut masih kurang sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Akhir kata masyarakat Garut yang bermayoritaskan masyarakat Sunda dapat kembali mengadopsi nilai-nilai tradisional masyarakat Sunda yang lebih dekat dengan alam. Falsafah orang Sunda seperti kata pepatah “Mulasara Buana” memiliki arti bahwa manusia harus memelihara alam semesta dan hidup selaras dengan alam juga pencipta-Nya. Sementara itu seperti kata M. A. W Brouwer seorang tokoh Belanda yang mengatakan “Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum” mengisyaratkan bahwa tanah atau Bumi Pasundan yang indah tidak seharusnya dirusak demi menjaga keindahannya.
Referensi:
Ghani, Hakim. 2022. Soekarno dan Asal-usul Garut Dijuluki Kota Intan. https://www.detik.com/jabar/berita/d-5981692/soekarno-dan-asal-usul-garut-dijuluki-kota-intan. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.
Kania, Ikeu. 2018. Dampak Partisipasi Masyarakat Menjaga Lingkungan di Pusat Kota Garut. Jurnal Papatung Vol. 1 No. 3 Tahun 2018.
Kusumo, Rizky. 2020. Kisah Pelesiran Putra Mahkota Rusia dan Pesohor Eropa di Tanah Priangan. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/03/25/kisah-pelesiran-putra-mahkota-rusia-dan-pesohor-eropa-di-tanah-priangan. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.
Rudiawan, Irwan. 2019. Garut Darurat Sampah, Akibat Minimnya Armada Angkutan. https://rri.co.id/1399-lingkungan-hidup/637790/garut-darurat-sampah-akibat minimnya-armada-angkutan. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.
Sucahyo, Nurhadi. 2016. Kerusakan Lingkungan Penyebab Bencana di Garut. https://www.voaindonesia.com/a/kerusakan-lingkungan-penyebab-bencana-di-garut/3520523.html. Diakses pada tanggal 20 Juni 2022.