Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jika yang Terlihat

16 November 2018   11:03 Diperbarui: 16 November 2018   11:09 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mak, belikan Kopen sepatu ya Mak!"

Emak tidak menjawab permintaan Kopen. Barangkali karena warung makan Emak sedang ramai, memang selalu ramai, sehingga sulit untuk memberi perhatian pada dua hal yang berbeda. Keadaan seperti ini sudah sangat dihafal oleh Kopen dan tentu saja oleh Emak. Sayangnya Kopen dan Emak tidak pernah menyadari kebiasaan ini. Memang demikian yang namanya kebiasaan, biasanya dilupakan.

"Mak, tempe sudah habis?"

"Toko mas Jolen tadi bukakan Pen?"

"Nggak lihat Mak. Tempe habis mak?"

"Nah, kok nggak lihat? barusan kamukan pulang sekolah lewat toko mas Jolen, kopi habis ini kopi, belum dikirim, lupa pasti dia itu. Ambil sana Pen!" Kopen bergegas, Emak memberitahu pengunjung warung bahwa kopi sedang dibeli. "Tunggu dulu ya kopinya, habis, masih diambilkan."

Pengunjung mengangguk dan melanjutkan menyantap makanannya. Sementara Emak masih saja repot menyiapkan makanan untuk pengunjung yang lain. Sederhana saja yang disediakan di warung Emak, nasi pecel dan nasi campur, kopi dan teh manis, panas dan es, tapi pengunjung yang datang lain dari sederhana, sudah cukup membuat Emak tidak berhenti kesana kemari.

Warung Emak sudah bediri semenjak Kopen masih kecil. Emak tidak punya pilihan, harus terus hidup, saat itu adalah ketika Kopen masuk sekolah menengah pertama, suaminya meninggal akibat kecelakaan di tempat kerja. Tidak ada alasan seorang janda beranak satu menangis setiap malam berkabung, waktu akan terus berjalan. Dari tekad untuk terus hidup itulah kini Kopen bisa terus bersekolah sampai memasuki tahun terakhirnya di SMA Gunung Kidul. Warung Emak adalah bukti perjuangan hidup yang harus dihadapi.

"Mak, tutup toko mas Jolen." Meletakkan kopi di atas meja sebelah kompor gas.

"Nah ini?" Menanyakan asal-muasal kopi.

"Di sana." Kopen mengarahkan mukanya ke arah tempat ia membeli kopi.

"Kemana lagi si Jolen ini?"

"Mak tempe habis Mak tempe?"

Emak segera membuat segelas kopi yang dari tadi sudah ditunggu pengunjung kemudian menyajikannya. Sementara itu Kopen menyiapkan sendiri makan siangnya yang hendak dimakan sore itu. Masih nasi saja yang sudah ada pada piring yang dipegang Kopen. Pandangannya kemana-mana mencari kiranya masih ada tempe yang tersisa, yang padahal ia tahu sangat sulit menemukan tempe di sore hari karena itu adalah detik-detik tutupnya warung Emak. Pengunjung sudah berhenti datang, hanya yang sedang di warung mulai bergantian membayar dan pergi.

"Pen, ambil piring-piringnya!"

Kopen meletakkan piring berisi nasinya itu dan segera mengambil piring-piring kotor, beserta sendok dan garbunya, beserta gelas dan lepeknya. Selanjutnya ia mengambil serbet membersihkan meja-meja. Pelanggan terakhir sudah pergi, Kopen melanjutkan membersihkan meja kemudian menutup warung. Emak menyalakan lampu karena warung gelap ketika ditutup. Kopen kembali mengambil piring berisi nasinya tadi.

"Itu masih ada kuah kare, kamu makan dulu sana, emak gorengkan telur."

"Tempe habis mak?"

"Habis! Nanti malam baru datang, nanti malam kamu goreng sendiri kalau kepengen tempe."

"Walah!"

Emak mengambil dua telur dan menggorengnya. Piring-piring kotor masih menumpuk karena memang dibiarkan seperti itu. Setelah nasi dicampur dengan kuah kare, Kopen mengambilnya setengah dan diletakkan pada piring yang berbeda. Tidak perlu waktu lama untuk menggoreng telur, dua telur yang digoreng Emak sudah matang. Emak meletakkannya pada dua piring berisi nasi kuah kare yang disiapkan Kopen. Mereka berdua makan siang di sore hari bersama dengan menu yang sama.

"Mak, kemarin Kopenkan sudah pesan tempe jangan dihabiskan!"

"Dipesan orang sudah, masak mau Emak larang? Kamu ini kok aneh."

"Yaa, buat ganjal perut jugakan mesti yang enak."

"Ini enak."

"Anu Mak, Mulai besok Kopen pulangnya banyak malamnya."

"Sudah mulai?"

"Iya Mak, mulai besok."

"Tiap hari kamu pulang malam Pen?"

"Cuman sampai Kamis Mak."

"Belajar di rumah sebenarnya sudah cukup, ada-ada saja sekolah caranya cari uang. Les segala macem."

"Siklus mak, siklus. Kalau nggak gini mana ada pemasukan mereka?"

"Kamu sekolah itukan untuk dapet ilmu, biar pinter. Nah kok masih ada les? Kenapa nggak les aja udah cukup, sekolahnya nggak usah, lebih murahkan."

"Itukan cuma formalnya Mak, yang pentingkan ijasah. Guru juga formalnya pahlawan tanpa tanda jasa, tapi intinyakan kerja, cari duit!"

"Lambemu Pen!"

Emak dan Kopen meneruskan makan siangnya itu. sebentar saja sudah selesai. Piring kotornya mereka taruh bertumpuk dengan piring kotor yang lain. Dibiarkan saja piring-piring kotor itu kemudian keduanya menuju rumah yang berada di sebelah warung. Ada jalan menembus rumah di belakang warung. Rumah dan warung dempet menjadi satu. Emak ke kamar mandi membawa handuk untuk mandi. Kopen menonton televisi untuk mengisi kekosongan waktunya menunggu gilirannya untuk mandi.

"Mak cepet mak!"

Acara televisi tidak ada yang menarik perhatian Kopen. Cukup lama akhirnya tiba waktunya Kopen mandi. Tidak perlu waktu lama. Kopen sudah rapi seketika dengan tubuh yang wangi. Emak masih berdandan di depan cermin. Kopen kembali ke depan televisi yang tadi ia tinggal tidak ia matikan. Hari masih sore masih hendak mulai muncul senja. Kopen dan Emak tidak terburu-buru.

"Kamu sudah telpon mas Jolen, Pen?"

"Lah, lupa mak."

"Oww, ndoweh!"

"Biasanyakan mas Jolen yang telpon." Kopen mengambil handphone menghubungi mas Jolen.

Emak sudah selesai dandan. Sore segera berakhir. Kopen mencoba menghubungi mas Jolen tapi tidak ada jawaban. Kopen dan Emak yang sudah siap harus menunggu kabar dari mas Jolen. Keduanya sekarang di depan televisi menonton dengan tenang namun perasaannya gelisah. Pikir mereka mengapa tidak kunjung ada kabar dari mas Jolen padahal biasanya tidak demikian.

"Kok lama ya mak?"

"Telpon lagi cobak, Pen!"

"Udah Mak, nggak diangkat."

"Lah-lah, udah jam segini lo, kemana coba itu bocah?"

Tiba-tiba ada pesan dari mas Jolen di telpon genggam Kopen. Ternyata mas Jolen sedang berada di bengkel. Sepedahnya mogok untuk pertama kalinya. Seharian mas Jolen berada di bengkel mulai siang. Kopen segera ingin tahu jam berapa mas Jolen sampai dirumahnya.

"Mas Jolen di bengkel Mak."

"Lah terus?"

"Ini udah selesai katanya, perjalanan."

"Oww, lama apa nggak?"

"Ya ditunggu aja Mak!"

Kopen dan Emak kembali menikmati televisi namun dengan perasaan yang lebih tenang sekalipun acara televisi tidak ada yang menarik bagi mereka. Emak sudah sejak lama meninggalkan sinetron semenjak ia tidak puas dengan akhir cerita yang ada pada sinetron yang paling disukainya. Sedangkan Kopen lebih tertarik oleh youtube dari pada acara televisi.

"Pen, kamu kok pakai celana ketat gitu?"

"Enak mak, simpel."

"Pakai rok gitu lo!"

"Repot Mak"

"Ini bukannya celana yang dibelikan bapakmu dulu, Pen?"

"Iya."

"Kok masih muat?"

"Kan dulu masih kebesaran Mak. Celana ini baru muat Kopen pakai itu waktu masuk SMA, bapak itu memang kalo beli nggak pernah bener."

"Pakai yang lain kenapa Pen, kayak nggak ada yang lain?"

"Ini enak kok Mak."

Setelah beberapa saat mas Jolen telah sampai di rumah menemui Kopen dan Emak. Tanpa mematikan televisi Kopen segera keluar rumah menyambut mas Jolen. Emak melihat cermin memastikan dandanannya masih bertahan pada keadaan yang sempurna. Kemudian menyusul Kopen keluar menemui mas Jolen.

"Mas Jol, sudah kelar mbengkelnya?" Sapa Kopen.

"Hahaha. Sudah-sudah, maaf ya jadi nunggu." Mas Jolen tertawa dan merasa tidak enak pada Emak dan Kopen.

"Nggak papa mas, tadi juga aku ke toko, tutup, mau ambil kopi."

"Mulai siang tadi mbengkelnya."

"Jol, sudahkan, aku keluar dulu wes, langsung ini. Ayo Pen." Emak menyapa langsung mas Jolen.

"Iya Mak, maaf tadi hahaha."

"Pen masuk duluan sana kamu!"

"Iya Mak, ayo mas Jol aku keluar dulu."

"iya, hati-hati kalau bawa mobil, Pen!"

"Anu Jol, jangan lupa nanti tempe datang, Minah suruh cepet mbereskan warung. Terus kopinya cepet kirimen."

"Iya Mak, siap."

"Yawes, Emak berangkat, Kopen kepingin sepatu."

"Sepatu?! Walah, Kopen-Kopen, kemarin sepertinya sudah beli Mak?"

"Wong Kopen kok, sepatulah, bajulah, tas, topi, sembarang diminta itu."

"Hahaha. Namanya juga anak kesayangan Mak."

Emak masuk ke dalam mobil di bagian depan. Kopen sudah siap berangkat. Mas Jolen menghubungi Minah untuk segera datang. Jolen tahu benar jam berapa Emak dan Kopen akan pulang. Mobil mulai berjalan, Kopen dan Emak sebentar sudah hilang dari pandangan Jolen setelah persimpangan.

Hampir setiap malam Kopen dan Emak selalu keluar untuk belanja sesuatu atau sekedar membeli makanan di restaurant. Emak terlalu lelah untuk masak masakan lain di rumah setelah mulai siang hari melayani pengunjung warung. Pagi hari Minahlah yang menjaga warung. Perjalanan yang singkat warung Emak telah membuahkan hasil yang luar biasa. Baik Emak, Kopen, mas Jolen maupun Minah adalah orang-orang yang bahagia.

"Pen, Emak sudah lapar ini, cari tempat makan deket sini Pen!"

"Sama Mak, Habis makan langsung cari sepatu ya."

"Sembarang!"

Sampai di tempat makan keduanya makan dengan lauk yang melimpah ruah, mulai dari hulu hingga hilir. Pelayan selalu memberikan pelayanan yang terbaik pada pelanggan yang mereka sudah kenal itu.

"Pen, jangan lupa dibungkus buat mas Jolen sama Minah"

"Udah pesen Mak!"

"Kalau pulang malam, kamu cari makan sama teman-teman kamu. Emak biar mas Jolen yang carikan makan"

"Iya Mak."

"Setelah SMA kamu ngapain Pen?"

"Kuliah Mak."

"Nggak mau pegang cabang warung Emak yang di dekat sekolah kamu itu? katanya kamu suka di sana."

"Kuliah dulu Mak. Lumayan empat tahun main-main lagi sama temen-temen."

"Kamu itu, kuliah itukan untuk cari ilmu."

"Siklus Mak, siklus. Ilmu itukan Formalnya.

"Lembemu, Pen!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun