Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Orang Tua dari Dimensi Lain

11 November 2018   13:16 Diperbarui: 11 November 2018   14:06 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Mengapa pula anak muda menghabiskan waktu sore sendirian? Terlihat menyedihkan."

Seorang kakek tua menyela lamunanku. Sedikit menyebalkan tapi aku rasa maklum saja orang tua. Aku membalas perkataannya dengan senyum, kurasa itu cukup. Aku ingin menghabiskan sore ini tanpa memikirkan apa-apa, tanpa siapa-siapa, hanya ingin sendiri. Sayang sekali ini taman kedua yang aku kunjungi, tidak ada tempat yang sepi. Tadinya aku berfikir duduk di sebelah kakek tua akan baik-baik saja, terutama kami tidak saling mengenal.

Senyum dariku, ternyata bukanlah akhir dari dialog singkat yang memang ingin aku buat singkat di antara kami. Mungkin kakek itu memiliki umur yang sama dengan bapak dari ibuku yang meninggal 12 tahun lalu. Jelas rencanaku untuk menjadi melankolis di waktu senja telah gagal. Di tempat ini akan menjadi masalah jika orang tua tidak dihormati.

"Memang masalah seperti apa itu, sampai kau terlihat begitu murung Nak?" Kakek itu berbicara tanpa melihatku, tapi melihat orang-orang yang sibuk di taman.

 "Bukan seperti itu, saya memang senang berada dalam tempat-tempat seperti ini." Aku terpaksa membalasnya, sambil kutatap wajahnya dari arah samping, seperti siluet karena menutupi matahari senja yang seharusnya aku nikmati.

 "Tanpa ada seseorang yang menemani?" Kakek itu menimpali.

"Mungkin dapat dikatakan demikian."

Aku menjawab sambil mencoba tetap sopan. Ia tersenyum, kemudian sibuk dengan saku-saku jasnya yang berwarna abu-abu. Entahlah mengapa hampir semua orang tua di daerah ini mengenakannya dan lucunya lagi itu selalu terlihat pantas. Aku tak peduli, tapi hanya sedikit penasaran. Sepertinya apa yang sedang dicari telah ditemukannya. Kulihat lagi, terrnyata itu adalah permen. Kemudian kakek itu memberikannya padaku.

"Ini, dari pada diam saja."

"Terimakasih," aku menerimanya, rasa kacang, yang paling aku tidak suka.

"Jika ingin, kau boleh memintanya lagi."

"Ini saja cukup," aku mulai memakannya.

"Kemarikan bungkus permen itu Nak!"

"Ah, Biar saya saja yang membuangnya, saya simpan di  saku saja."

"Jangan, aku memerlukannya, akan aku bawa pulang."

"Untuk kerajinan ya Kek." Sial aku terbawa situasi, seharusnya aku diam saja.

 "Bukan."

Sampai setelah aku memberikan sampah permen itu, aku tidak lagi ingin bertanya. Benar saja kakek itu menyimpan sampah dariku ke saku kantongnya. Orang tua selalu saja punya kebiasaan-kebiasaannya yang aneh. Sempat terfikir apa yang mungkin dilakukan kakek tua di tempat seperti ini sendirian kecuali untuk sekedar menghabiskan waktu. Mungkin juga ingin mencari teman bicara. Aku menjadi sedikit merasa bersalah bila memang demikian. Aku bukanlah teman bicara yang baik, sekalipun untuk orang asing. Tak lama, kopi yang aku pesan di kafe seberang taman sebelumnya sudah datang.

 "Atas nama Nuel?" Tanya seorang pelayan kafe kepadaku.

"Ya, saya."

Pelayan itu membawa dua kopi. Sempat ingin menyela dan berkata bahwa aku hanya memesan satu. Ternyata satu kopi yang lain untuk kakek di sebelaku. Kemudian pelayan itu pergi setelah melaksanakan tugasnya. Kopi memang hak setiap orang tanpa mengenal usia tentunya. Sepertinya kakek itu memiliki selera yang tinggi terhadap kopi. kafe itu adalah tempat yang cukup terkenal karena rasa kopinya yang nikmat. Apalagi menikmati kopi selalu pas untuk waktu apa saja. Kenikmatan kopi yang aku minum sore itu memaksaku untuk tidak lagi egois pada keinginanku. Aku tak peduli lagi.

"Memang tidak ada yang mengalahkan, kenikmatan kopi saat santai seperti ini," kataku kepada kakek tua itu.

 "Bukan soal menang atau kalah, tapi tentang siapa yang mendapat kesempatan," kakek itu menjawab dengan hal yang sulit aku mengerti. Sekali lagi, aku pikir seperti itulah orang tua.

  "Kakek sepertinya sangat tahu banyak tentang hidup."

  "Tentu saja. Entah apa masalah yang kau hadapi saat ini, itu bukanlah apa-apa."

    "Ah, saya memang sedang tidak bermasalah, dan saya juga bukan orang yang terlalu peduli pada hal-hal seperti itu."

 "Lantas apa yang penting menurutmu Nak?" Aku diam saja, karena tidak tahu harus membalas apa. "Kau harus tahu, seusiamu dulu, hampir tidak ada waktuku yang terbuang sia-sia. Apa kau sudah menikah?"

 "Sudah, saya memiliki satu anak."

"Hahaha... Jika kau memiliki waktu untuk bermalas-malasan, mengapa tak kau gunakan saja untuk bersama-sama dengan mereka?" Aku merasa tidak nyaman, tapi aku ingin mendengar kakek ini berbicara. "Aku ingat saat-saat menunggu untuk menerima uang dari jerih keringatku, dan uang itu aku gunakan untuk membeli beras. Aku bekerja keras untuk keluargaku. Dulu aku berfikir, lebih baik aku kelaparan asalkan keluargaku baik-baik saja."

"Sekarangpun, semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, Kerja di kantorpun harus berjuang keras demi bertahan hidup dan menutupi hutang-hutang."

"Apakah itu yang kau anggap penting anak muda? Kau bahkan masih memiliki waktu yang panjang. Tidak sepertiku."

"Seperti yang Kakek katakan, lebih baik keluarga baik-baik saja. memiliki hutang dan membayar hutang saat ini adalah salah satu cara bertahan hidup Kek, bahkan untuk orang seperti saya, yang masih memiliki waktu hidup yang panjang," tiba-tiba mulutku ikut terbawa suasana, entah bagaimana kami membicarakan hal-hal seperti ini.

 "Tapi, kau kini berada pada kenyataan Nak."

  "Maksud Kakek?"

  "Bekerja keras demi penghasilan bukanlah hal yang paling penting."

"Mengapa Kek?"

Kakek tua itu diam tidak menjawab pertanyaanku. Ia duduk tenang, kembali menikmati kopi dan aku demikian mengikutinya. Aku tidak mengulang pertanyaanku. Tentu saja itu tidak sopan. Senja masih bertahan. Keindahan sore itu memang sayang jika aku nikmati sendirian saja. Jika boleh aku ingin membawa suasana itu pulang untuk istri dan anakku. Tapi apakah masih sama kenikmatannya jika waktu terus saja berjalan dan menjadikan senja-senja memiliki cerita yang berbeda-beda.

Taman yang ramai masih saja ramai. Semua orang memiliki caranya masing-masing untuk menikmati hidup. Dari sudut yang tidak terlalu jauh, sepertinya sepasang suami-istri, bermain-main menghibur anak mereka. Sepertinya sangat menyenangkan. Betapa bahagianya kehidupan mereka, tidak harus sepertiku yang sibuk bekerja keras. Tapi begini juga pilihan, demi keluargaku bahagia. Setelah ini aku harus kembali kerja, pergi lembur. Senja menjadi pilihan, sekedar membuang lelah dan kesal.

 "Dengan uang yang cukup, atau mungkin lebih baik berlebih, saya akan membahagiakan keluarga saya Kek."

"Hahaha..." Kakek itu tertawa.

"Seperti yang kakek katakan, waktu saya masih panjang. Masih banyak waktu untuk saya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya," aku mencoba menegaskan.

"Waktuku kini tak lagi sama seperti dulu. Masa tua seharusnya adalah ketenangan."

"Maka untuk ketenangan itu saya harus memiliki penghasilan yang mapan. Di masa depan ketika saya seperti Kakek, saya tinggal menikmati hidup dan berbahagia. Seperti kafe di seberang, begitu banyak cabangnya, betapa bahagia masa tua pemiliknya."

Kakek tua itu hanya tersenyum padaku seperti saat pertama aku memberinya senyuman. Seketika itu pula ia pergi, mengatakan selamat tinggal dan berterimakasih padaku telah menemaninya. Aku masih di tempat yang sama. Masih ada sedikit waktu menikmati kopiku sambil berangan-angan sampai senja benar-benar sirna. Setelah ini pekerjaanku akan lebih keras demi keluargaku. Begitulah masa depanku yang akan sangat bahagia.

"Permisi, apakah Anda tahu, Kakek yang duduk di sebelah Anda barusan?" Tiba-tiba seorang pelayan kafe kembali dan bertanya kepadaku.

            "Ah, sudah pergi, barusan saja."

            "Begitu rupanya."

            "Apakah kakek tadi lupa membayar? Pakai uang saya saja."

            "Oh, bukan begitu. Saya hanya ingin memastikan agar beliau tidak lupa untuk makan."

            "Sepertinya Kakek itu sering datang ke taman ini. Sampai Anda peduli benar dengan Kakek tadi."

            "Tentu saja saya peduli, terutama ini adalah hari peringatan kematian istri dan anaknya. Biasanya beliau akan sangat sedih. Padahal sudah sangat lama." Aku sedikit merasa bersalah karena terlalu banyak membicarakan keluarga tadinya.

            "Malang sekali, maaf, meninggal ...?"

            "Kecelakaan, di tempat ini. saya bahkan tidak bisa melupakan ketika beliau, tangannya gemetar, sambil membawa permen kacang kesukaan anaknya," pelayan itu bercerita sambil mengambil nafas dalam.

            "Kasihan sekali Kakek itu, Bahkan untuk sekedar makan beliau sampai melupakannya. Bila begitu saya ingin sekali membayarkan kopi yang dipesannya tadi," aku sempat iba.

            "Itu soal yang berbeda, beliau adalah pemilik dan pendiri kafe kami, tapi untuk kebahagiaan beliau justru tidak memilikinya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun