Mohon tunggu...
Cahya Sinda
Cahya Sinda Mohon Tunggu... -

Sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Orang Tua dari Dimensi Lain

11 November 2018   13:16 Diperbarui: 11 November 2018   14:06 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  "Maksud Kakek?"

  "Bekerja keras demi penghasilan bukanlah hal yang paling penting."

"Mengapa Kek?"

Kakek tua itu diam tidak menjawab pertanyaanku. Ia duduk tenang, kembali menikmati kopi dan aku demikian mengikutinya. Aku tidak mengulang pertanyaanku. Tentu saja itu tidak sopan. Senja masih bertahan. Keindahan sore itu memang sayang jika aku nikmati sendirian saja. Jika boleh aku ingin membawa suasana itu pulang untuk istri dan anakku. Tapi apakah masih sama kenikmatannya jika waktu terus saja berjalan dan menjadikan senja-senja memiliki cerita yang berbeda-beda.

Taman yang ramai masih saja ramai. Semua orang memiliki caranya masing-masing untuk menikmati hidup. Dari sudut yang tidak terlalu jauh, sepertinya sepasang suami-istri, bermain-main menghibur anak mereka. Sepertinya sangat menyenangkan. Betapa bahagianya kehidupan mereka, tidak harus sepertiku yang sibuk bekerja keras. Tapi begini juga pilihan, demi keluargaku bahagia. Setelah ini aku harus kembali kerja, pergi lembur. Senja menjadi pilihan, sekedar membuang lelah dan kesal.

 "Dengan uang yang cukup, atau mungkin lebih baik berlebih, saya akan membahagiakan keluarga saya Kek."

"Hahaha..." Kakek itu tertawa.

"Seperti yang kakek katakan, waktu saya masih panjang. Masih banyak waktu untuk saya mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya," aku mencoba menegaskan.

"Waktuku kini tak lagi sama seperti dulu. Masa tua seharusnya adalah ketenangan."

"Maka untuk ketenangan itu saya harus memiliki penghasilan yang mapan. Di masa depan ketika saya seperti Kakek, saya tinggal menikmati hidup dan berbahagia. Seperti kafe di seberang, begitu banyak cabangnya, betapa bahagia masa tua pemiliknya."

Kakek tua itu hanya tersenyum padaku seperti saat pertama aku memberinya senyuman. Seketika itu pula ia pergi, mengatakan selamat tinggal dan berterimakasih padaku telah menemaninya. Aku masih di tempat yang sama. Masih ada sedikit waktu menikmati kopiku sambil berangan-angan sampai senja benar-benar sirna. Setelah ini pekerjaanku akan lebih keras demi keluargaku. Begitulah masa depanku yang akan sangat bahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun