"Bukan soal menang atau kalah, tapi tentang siapa yang mendapat kesempatan," kakek itu menjawab dengan hal yang sulit aku mengerti. Sekali lagi, aku pikir seperti itulah orang tua.
 "Kakek sepertinya sangat tahu banyak tentang hidup."
 "Tentu saja. Entah apa masalah yang kau hadapi saat ini, itu bukanlah apa-apa."
  "Ah, saya memang sedang tidak bermasalah, dan saya juga bukan orang yang terlalu peduli pada hal-hal seperti itu."
 "Lantas apa yang penting menurutmu Nak?" Aku diam saja, karena tidak tahu harus membalas apa. "Kau harus tahu, seusiamu dulu, hampir tidak ada waktuku yang terbuang sia-sia. Apa kau sudah menikah?"
 "Sudah, saya memiliki satu anak."
"Hahaha... Jika kau memiliki waktu untuk bermalas-malasan, mengapa tak kau gunakan saja untuk bersama-sama dengan mereka?" Aku merasa tidak nyaman, tapi aku ingin mendengar kakek ini berbicara. "Aku ingat saat-saat menunggu untuk menerima uang dari jerih keringatku, dan uang itu aku gunakan untuk membeli beras. Aku bekerja keras untuk keluargaku. Dulu aku berfikir, lebih baik aku kelaparan asalkan keluargaku baik-baik saja."
"Sekarangpun, semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang mapan, Kerja di kantorpun harus berjuang keras demi bertahan hidup dan menutupi hutang-hutang."
"Apakah itu yang kau anggap penting anak muda? Kau bahkan masih memiliki waktu yang panjang. Tidak sepertiku."
"Seperti yang Kakek katakan, lebih baik keluarga baik-baik saja. memiliki hutang dan membayar hutang saat ini adalah salah satu cara bertahan hidup Kek, bahkan untuk orang seperti saya, yang masih memiliki waktu hidup yang panjang," tiba-tiba mulutku ikut terbawa suasana, entah bagaimana kami membicarakan hal-hal seperti ini.
 "Tapi, kau kini berada pada kenyataan Nak."