"Mengapa pula anak muda menghabiskan waktu sore sendirian? Terlihat menyedihkan."
Seorang kakek tua menyela lamunanku. Sedikit menyebalkan tapi aku rasa maklum saja orang tua. Aku membalas perkataannya dengan senyum, kurasa itu cukup. Aku ingin menghabiskan sore ini tanpa memikirkan apa-apa, tanpa siapa-siapa, hanya ingin sendiri. Sayang sekali ini taman kedua yang aku kunjungi, tidak ada tempat yang sepi. Tadinya aku berfikir duduk di sebelah kakek tua akan baik-baik saja, terutama kami tidak saling mengenal.
Senyum dariku, ternyata bukanlah akhir dari dialog singkat yang memang ingin aku buat singkat di antara kami. Mungkin kakek itu memiliki umur yang sama dengan bapak dari ibuku yang meninggal 12 tahun lalu. Jelas rencanaku untuk menjadi melankolis di waktu senja telah gagal. Di tempat ini akan menjadi masalah jika orang tua tidak dihormati.
"Memang masalah seperti apa itu, sampai kau terlihat begitu murung Nak?" Kakek itu berbicara tanpa melihatku, tapi melihat orang-orang yang sibuk di taman.
 "Bukan seperti itu, saya memang senang berada dalam tempat-tempat seperti ini." Aku terpaksa membalasnya, sambil kutatap wajahnya dari arah samping, seperti siluet karena menutupi matahari senja yang seharusnya aku nikmati.
 "Tanpa ada seseorang yang menemani?" Kakek itu menimpali.
"Mungkin dapat dikatakan demikian."
Aku menjawab sambil mencoba tetap sopan. Ia tersenyum, kemudian sibuk dengan saku-saku jasnya yang berwarna abu-abu. Entahlah mengapa hampir semua orang tua di daerah ini mengenakannya dan lucunya lagi itu selalu terlihat pantas. Aku tak peduli, tapi hanya sedikit penasaran. Sepertinya apa yang sedang dicari telah ditemukannya. Kulihat lagi, terrnyata itu adalah permen. Kemudian kakek itu memberikannya padaku.
"Ini, dari pada diam saja."
"Terimakasih," aku menerimanya, rasa kacang, yang paling aku tidak suka.
"Jika ingin, kau boleh memintanya lagi."