Mohon tunggu...
Mocha Soleh
Mocha Soleh Mohon Tunggu... Musisi - Menulis, Membaca, Bermusik, Mengajar, Berpetualang, bersedih, kemudian berbahagia.

Bangkit dari patah hati memang susah. Tapi, akan terlihat lebih susah jika gak bangkit-bangkit.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merindukan dalam Sunyi Sembari Bersembunyi

28 Juli 2020   12:21 Diperbarui: 29 Juli 2020   10:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyatanya kau mudah sekali kecolongan. Sering kali aku menatapmu, tapi kau tak tau. Kapan aku bisa jadi embun untuk pagimu, kapan aku bisa jadi harum untuk bungamu, kapan aku bisa jadi bintang untuk malammu, dan kapan aku bisa jadi warna untuk pelangimu. Untuk mendekatimu sungguh tidak mungkin bagiku. Di mataku sudah terlihat tembok pembatas yang menjulang tinggi. Sedangkan aku terlalu kecil untuk memanjat itu.

Tak apalah dengan siapa kau akan memulai kisahmu. Bagiku mengenalmu sudah berkecukupan. Bukankah kita sebagai manusia harus merasa cukup meskipun kadang nafsu sering merasa kurang. Bukankah perasaan itu lebih indah dirasakan daripada diungkapkan. Bukankah rasa suka itu bersebelahan dengan rasa duka. Kita saja yang tak mampu meraba. Kita ini hanya terlalu keras kepala. Semua harus diukur dari segi dunia. Cukuplah kau jangan berduka, aku tau bagaimana hatimu. Cobalah kau pandang ke arah lain, banyak kebahagian disana. Jika tak ada yang mau membahagiakanmu, biar aku saja yang melakukan. Tenang tak perlu kau merasa kekurangan. Semua akan terasa terpenuhi jika kau mau bersyukur. Misalnya kau harus bersyukur dia mengkhianatimu. Karena dengan itu hatimu terselamatkan dari seseorang yang tak bisa menghargai perasaan.

Dua bulan setelah peristiwa itu akhirnya kau mau juga berbicara denganku. Mungkin kau juga merasa lelah untuk mengabaikanku, meski hanya sebatas wajar. Tak apa, menatapmu sambil berbicara terkadang juga kau selipkan dengan tawa yang lepas itu sudah membuatku bangga. Aku mulai menemukan garis besarnya. Ternyata memang kita lebih baik jadi sahabat. Meski sebenarnya hati dan tanganku enggan mau berjabat kalau hanya sebatas teman. Intinya aku harus bisa menerima yang berjalan tak sesuai dengan skema. Tak ada waktu yang salah, yang salah itu kita sebagai mahluk terlalu banyak menaruh harapan kepada sesama mahluk. Karena jika harapan itu direnggut, dapat dipastikan perasaanmu juga ikut terenggut. Bahkan dalam banyak kasus nyawa juga ikut serta direkrut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun