Mohon tunggu...
Mocha Soleh
Mocha Soleh Mohon Tunggu... Musisi - Menulis, Membaca, Bermusik, Mengajar, Berpetualang, bersedih, kemudian berbahagia.

Bangkit dari patah hati memang susah. Tapi, akan terlihat lebih susah jika gak bangkit-bangkit.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merindukan dalam Sunyi Sembari Bersembunyi

28 Juli 2020   12:21 Diperbarui: 29 Juli 2020   10:04 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ingat kapan terakhir kali bangun cinta. Saat kita dipertemukan dalam pencarian karyawan di Perusahaan Negara. Kau yang dari awal terlihat ambisius, misterius, dan juga jenius. Mengajak perasaanku untuk mengikuti dan mengikatmu. Meski kita belum ada ikatan apapun. Waktu itu aku ingat, ketika semua calon karyawan dikumpulkan di suatu aula. Tanpa disengaja kau yang awalnya berada jauh dari pandangan, seketika berada dekat dan bersebelahan.

Karena mulutku lupa untukku lakban, akhirnya aku memberanikan untuk memulai percakapan.

"Mbaknya darimana?"tanyaku

"Saya dari Depok mas" jawabnya dengan santai.

"Mbaknya namanya siapa?" balasku lagi, sembari mencoba untuk mengingat namanya.

"Saya Dea mas"jawabnya lagi. Tak lupa aku menyebutkan namaku sembari berjabat tangan.

"Rico mbak"

Tanganya yang halus, bahkan mampu membuat tanganku tergelincir, nyaris. Entah skincare apa yang dia pakai hingga semulus itu. ketika semua calon karyawan fokus mendengarkan materi yang diberikan salah satu pimpinan perusahaan. Aku dan pikiranku terjebak pada tatap matanya yang berbinar penuh semangat. Bisa dikatakan aku mulai menyukainya.

Keesokan harinya ada proses seleksi interview direksi. Proses ini adalah proses yang menentukan sebelum kita melakukan MCU (Medical Check Up). Alhamdulillah aku lolos dari proses ini. Siapa sangka Mahluk Tuhan yang membuatku hilang kendali ternyata dia juga lolos dalam seleksi ini. Sudah terlihat jelas dia akan berhasil, berhasil jadi karyawan di perusahaan ternama dan berhasil menjadikan aku tawanan rasanya tanpa makna.

Setelah segela rentetan peristiwa aku lewati. Pada tahap ini aku dan para karyawan mengikuti pelatihan yang diberikan oleh perusahaan. Tujuannya untuk memberikan bekal keahlian dan membentuk mental bagi karyawan. Tanpa disangka setelah pembentukan devisi, ternyata Dea Adelia Sasmitha juga satu devisi denganku. Aku bingung, apa ini rencana perusahaan untuk mendekatkan dia denganku atau ini rencana Tuhan yang lebih tau dulu kalau aku menyukainya.

Dalam satu kelompok devisi humas dan kerjasama. Aku bertemu dengan sosok manusia yang akan menjadi rekan satu devisi. Ada Angga, Rista, Wahyu, Romi, Yohanes, Arin, Cristy, dan Dea. Merekalah yang akan selalu aku temukan dalam lima hari setiap minggunya. Dalam diskusi kelompok devisi kita diwajibkan membuat proker sesuai devisi. Sekaligus pembentukan ketua tim devisi. Dalam pembentukan ketua tim Wahyu terpilih sebagai ketuanya.

Setalah aku lihat kalender di meja kerja, angka menunjukan 11 April 2018. Hari biasa tak beda jauh dengan hari-hari seblumnya. Cuma ada sedikit corak dalam setiap harinya. Aku kembali satu ruangan kerja dengan Dea. Ya, meskipun tidak hanya dengan Dea, ada juga yang lain. Setidaknya aku bisa mengintip paras eloknya dan tubuh moleknya yang membuat tidurku mulai tak nyenyak. Tepat jam 12:00 WIB. Matahari dengan garis lurusnya di atas kepala yang mengartikan sudah waktunya istirahat.

Dalam dialog siang bersama rekan kerjaku Angga. Kita banyak mengulik hal seputar pekerjaan. Tak luput juga kita sering membahasa perempuan, tak masalah kita laki-laki normal yang masih punya nafsu.

"Ric, kamu tau kalau rekan satu devisi kita ada yang bersaing memperebutkan Dea?" tanya Angga kepadaku.

"Iyakah? Aku gak tau tuh, siapa memang yang berkompetisi?" jawabku yang merasa ketakutan. Antara takut kalah bersaing dan takut kehilangan.

"Wahyu dan Yohanes" sautnya kepadaku.

Sontak saja aku mulai panik. Karena yang bersaing adalah ketua tim devisi Wahyu dan Yohanes. Mereka berdua yang paling banyak disukai rekan kantor antar devisi. Aku, yang mempunyai wajah serba pas-pasan, kemampuan serba pas-pasan, dan harta yang serba pas-pasan pula. Rasanya tidak mungkin bersaing dengan mereka berdua. Pastinya aku akan kalah sebelum persaingan dimulai.

Saking takutnya dan paniknya aku. Aku memberanikan diri untuk menghubungi Dea. Meski obrolanku hanya sebatas topik pekerjaan. Karena jika aku membahas dan mencoba membuka topik lain dia tak akan pernah membalas pesanku. Aku belum memilikinya, hanya sebatas menatapnya dan menjadi temannya aku sudah bisa merasakan luka.

Dua minggu kemudian aku mendengar berita bahwa Wahyu pemanangnya. Dia menjadi laki-laki beruntung bisa memilikimu. Bisa setiap saat melihat mata coklatmu yang berbinar. Bisa melihat setiap saat wajah elokmu dan tubuh molekmu. Aku, hanya menjadi penonton di atas tribun. Melihat adegan mesra yang sering kalian lakukan bak aktor dalam pementasan.

Kita yang satu ruangan, bahkan ketika berpapasan kita tak pernah bertegur sapa. Entah, seleramu yang tinggi atau kau mencoba menjaga perasaan kekasihmu. Aku rasa kau kan melakukan kedua-duanya. Melihat kalian berdua sama halnya menonton film Titanic. Tak akan terpisah sampai maut yang memisahkan. Aku, yang hanya bisa mencintaimu dalam sunyi sembari bersembunyi. Tak henti-hentinya mencoba baik-baik saja. Meski rasanya cemburu seringkali memburu perasaanku.

Sepuluh bulan kemudian. Aku dengar cintamu berakhir dengan Wahyu. karena Wahyu kau dapati kencan dengan perempuan teman satu devisi yaitu Rista. Yang awalnya cintaku bertepuk sebelah tangan, hampir aku bertepuk dengan dua tangan sambil tersenyum. Tapi, aku sebagai laki-laki tak mungkin sejahat itu. menertawai hatimu yang sedang berduka. Aku ingin menjadi pundak untukmu bersandar. Tapi lagi-lagi aku harus bertemu dengan kata sadar. Sadar bahwa aku tak layak memilikimu dan sadar bahwa kau tak mungkin jadi kenyataan.

Di dunia khayalanku, kau adalah kekasihku. Kau yang selalu aku bawa kemana-mana. Aku yang menjadi tempat kau bercerita dan kau menjadi rumah tempat rinduku pulang. Memang kau tak tahu jika aku merindukanmu, tapi rindu itu tau siapa pemiliknya. Aku yang berusaha berjalan tegak walau sebenarnya rasa ini sudah sempoyongan karena terlalu mengharapkanmu. Meletakkan rasa dihadapanmu sama saja meletakkan boom atom di mulutku, bisa meledak dan menghancurkan sewaktu-waktu. Untuk itu mana aku punya nyali.

Nyatanya kau mudah sekali kecolongan. Sering kali aku menatapmu, tapi kau tak tau. Kapan aku bisa jadi embun untuk pagimu, kapan aku bisa jadi harum untuk bungamu, kapan aku bisa jadi bintang untuk malammu, dan kapan aku bisa jadi warna untuk pelangimu. Untuk mendekatimu sungguh tidak mungkin bagiku. Di mataku sudah terlihat tembok pembatas yang menjulang tinggi. Sedangkan aku terlalu kecil untuk memanjat itu.

Tak apalah dengan siapa kau akan memulai kisahmu. Bagiku mengenalmu sudah berkecukupan. Bukankah kita sebagai manusia harus merasa cukup meskipun kadang nafsu sering merasa kurang. Bukankah perasaan itu lebih indah dirasakan daripada diungkapkan. Bukankah rasa suka itu bersebelahan dengan rasa duka. Kita saja yang tak mampu meraba. Kita ini hanya terlalu keras kepala. Semua harus diukur dari segi dunia. Cukuplah kau jangan berduka, aku tau bagaimana hatimu. Cobalah kau pandang ke arah lain, banyak kebahagian disana. Jika tak ada yang mau membahagiakanmu, biar aku saja yang melakukan. Tenang tak perlu kau merasa kekurangan. Semua akan terasa terpenuhi jika kau mau bersyukur. Misalnya kau harus bersyukur dia mengkhianatimu. Karena dengan itu hatimu terselamatkan dari seseorang yang tak bisa menghargai perasaan.

Dua bulan setelah peristiwa itu akhirnya kau mau juga berbicara denganku. Mungkin kau juga merasa lelah untuk mengabaikanku, meski hanya sebatas wajar. Tak apa, menatapmu sambil berbicara terkadang juga kau selipkan dengan tawa yang lepas itu sudah membuatku bangga. Aku mulai menemukan garis besarnya. Ternyata memang kita lebih baik jadi sahabat. Meski sebenarnya hati dan tanganku enggan mau berjabat kalau hanya sebatas teman. Intinya aku harus bisa menerima yang berjalan tak sesuai dengan skema. Tak ada waktu yang salah, yang salah itu kita sebagai mahluk terlalu banyak menaruh harapan kepada sesama mahluk. Karena jika harapan itu direnggut, dapat dipastikan perasaanmu juga ikut terenggut. Bahkan dalam banyak kasus nyawa juga ikut serta direkrut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun