Teologi atau yang biasa disebut ilmu agama adalah wacana yang berdasarkan nalar mengenai agama, spiritualitas dan Tuhan. Dalam Islam, teologi disebut dengan 'ilm al-tauhid 'ilm al-kalam, sebuah ajaran yang berpatokan pada agama. Teologi Islam juga dikatakan sebagai suatu disiplin ilmu yang muncul pada zaman klasik.Â
Dalam lingkup umat Islam sendiri memiliki ragam corak pemikiran, ada yang liberal atau rasional, dan ada pula yang bersifat tradisional. Pengertian teologi rasional di sini adalah pemikiran yang bersifat filosofis dan ilmiah, teologi ini mulai tumbuh di era pemikiran Islam klasik. Dalam konsep teologi ini menyatakan bahwa Tuhan mengatur alam sesuai dengan Sunnatullah, yaitu hukum ciptaan Tuhan.
Secara etimologi, kata teologi berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu theos dan logos. Theos dalam bahasa Yunani bermakna Tuhan, sedangkan logos bermakna ilmu, wacana atau kata. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa teologi ialah suatu fan ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan ketuhanan.
Mengutip dari HL Mencken, "Teologi adalah upaya untuk menjelaskan hal-hal yang tidak diketahui dalam pengertian-pengertian dari mereka yang tidak patut mengetahuinya."
Sedangkan pengertian Teologi Islam atau Ilmu Kalam adalah ilmu yang tersusun secara sistematis membicarakan tentang persoalan ketuhanan dan alam semesta menurut perspektif Islam yang harus diimani, dan hal-hal lain yang terkait dengan ajaran Islam yang harus diamalkan, guna mendapatkan keselamatan hidup (dunia dan akhirat).
Sejarah mencatat awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada zaman khilafah Islamiyah dan mengalami "suksesi" kepemimpinan dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman.Â
Pada masa pemerintahan khalifah keempat ini menjadi awal perpecahan di antara umat islam, perang pun terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib melawan para penentangnya. Akibatnya, peristiwa tersebut menyebabkan goyahnya persatuan dan kesatuan umat.
Menurut catatan sejarah, ada dua perang besar yang terjadi pada masa itu, yaitu Perang Jamal (Perang Unta) yang terjadi antara faksi Ali dan Aisyah (istri nabi) yang ketika itu dibantu oleh Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah serta Perang Siffin antara faksi Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan yang merupakan Gubernur Damaskus.
Faktor terjadinya Perang Jamal disebabkan karena Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman. Sebenarnya Ali memilih menghindari peperangan dan ingin menyelesaikan secara damai. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan Talhah terbunuh ketika perang berlangsung, sedangkan Aisyah menjadi tawanan yang kemudian dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan peristiwa tersebut, maklumat-maklumat yang dikeluarkan oleh Ali semasa menjadi khalifah mengakibatkan timbulnya perlawanan dari Gubernur Damaskus yaitu Muawwiyah bin Abu Sufyan, ia mempunyai dukungan yang sempat mempunyai kedudukan di zaman pemerintahan Khalifah Usman, mereka merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan.
Konflik yang terjadi antara faksi Ali dan para penentangnya mengakibatkan munculnya beberapa aliran keagamaan dalam Islam, seperti halnya Syiah, Khawarij, Murjiah, Muktazilah, Jabbariyah, Qadariyyah, Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Ahlu sunnah wal jama'ah. Munculnya aliran-aliran tersebut akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu parameter perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan politik).
Aliran Mu'tazilah populer dengan meragukan keabsahan kandungan al-Qur'an dan hadits, aliran Mu'tazilah ini menggunakan ilmu filsafat yang berangkat dari filsafat akal dengan taraf pemahaman mereka sendiri. Jika al-Qur'an tidak relevan dengan akal, maka Al-Qur'an yang disalahkan, dan keputusan akal yang diambil. Menurut mereka, akal mempunyai kebenaran yang bersifat mutlak.
Â
Lambat laun faham Mu'tazilah menyebar dengan pesat bahkan mempunyai kekuasaan dan dijadikan madzhab resmi pada masa Khalifah Ma'mun dan al Mu'tashim bin harun Ar Rasyid. Di zaman Al Mu'tashim bin Harun Ar Rasyid memaksa para ulama untuk mengatakan al qur'an itu makhluk bukan qadim.
Aliran Mu'tazilah mendapatkan sebuah apresiasi yang tinggi dari pemerintahan pada masa itu, yang pada akhirnya mayoritas para ulama menyesal karena telah memberikan suatu kebebasan yang menitikberatkan secara mutlak pada akal dalam memahami persoalan-persoalan dalam Islam. Sehingga menimbulkan satu kondisi yang tidak sesuai dengan konsep ilahiyyah.
Di tengah-tengah panasnya percaturan politik dalam islam dan munculnya sekte-sekte maupun faksi-faksi dalam tubuh Islam, Abu Al-Hasan Al-Asy'ari naik ke permukaan dengan menawarkan manhaj salaf yang sesuai dengan ajaran Rasulullah dan sahabatnya, serta salaf ash-shalih.Â
Konsep ajarannya disebut sebagai representasi Ahlu As-Sunnah Wa Al-Jama'ah setelah wafatnya Al-Auza'I, Sufyan Ats-Tsaury, At-Thahawy, dll. Dengan hadirnya pemahaman aqidah ahlussunnah wal jama'ah dengan segala problematiknya, memberikan perubahan yang begitu besar di kalangan umat Islam yang mengkompilasikan antara wahyu dan akal serta memberi porsi yang baru sebagai reaksi atas Mu'tazilah yang memenangkan ego atas rasio akal.
Â
Mentakwil dari kitab Ittihaf Sadatul Muttaqin karya Sayyid Murtadlo Az-Zabidi bahwa yang dimaksud Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah penganut faham Abu  Al-Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi
Aliran Asy'ari merupakan Aliran teologi yang paling banyak diikuti masyarakat muslim di dunia. Di Indonesia sendiri, pemikiran Asy'ariyyah berasal dari Timur Tengah dan Persia. Asy'ariyyah dinisbatkan pada pengikut pemahaman ala Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
Nama Asli beliau adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Abi Barda bin Abi Musa Al-Asy'ari, beliau merupakan keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari. Al-Asy'ari dilahirkan pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M, Al-Asy'ari lahir di kota Basrah, tetapi sebagian besar hidupnya di Baghdad. Imam Abu Al-Hasan dahulunya merupakan penganut faham Mu'tazilah, beliau mendalami aliran ini selama 40 tahun. Beliau juga mempunyai banyak karya tentang aliran Mu'tazilah. Syech Nawawi mengatakan dalam kitabnya Fath Al-Majid bahwa yang beliau tulis tentang faham Mu'tazilah lebih mendominasi ketimbang pemikiran manhaj salaf. Hal ini karena beliau sudah menekuni teologi Mu'tazilah sejak kecil, sejak Ibu beliau menikah dengan  Abu Ali Al-Jubba'i yang merupakan tokoh sentral ulama' Mu'tazilah.
Menurut pandangan Imam Abu Hasan al-Asy'ari bahwa konsep yang diterapkan aliran Mu'tazilah akan mengakibatkan hancurnya islam dan metode tekstualis muhaddisin dan kawan-kawannya yang juga akan mengakibatkan kemunduran Islam dan menjadi jumud. Tak lepas dari itu, hal ini juga membuat umat Islam terpecah belah menjadi beberapa sekte. Konsep Asy'ari dalam menarik kesimpulan terkait al-Qur'an dan As-Sunnah tidak menafikan 'aql. Penggunaan 'aql dalam memahami dan membela syari'ah adalah suatu keharusan, bukan suatu kesesatan. Dalam persoalan agama, kita bisa saja menggunakan dalil 'aqli dan dalil naqli. Ada beberapa persoalan yang memerlukan dalil 'aqli, dan ada pula yang tak mungkin dipahami kecuali dengan dalil naqli. di samping itu, ada juga yang memerlukan kedua macam dalil tersebut ('aqli dan naqli).
Imam Abu al-Hasan Asy'ari mampu mengkompilasikan antara wahyu dan akal dalam memahami serta mempraktekkan ajaran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Secara Normatif, Wahyu dan akal ialah dua  potensi yang mempunyai legistimasi dari tuhan agar dapat di kaji dan di gunakan untuk menambah keyakinan, pengetahuan, dan pemikiran manusia. Konsep yang diterapkannya membuat pemahaman ini banyak di terima khalayak umum bahkan tetap eksis hingga sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H