Di tengah gempita kampanye literasi yang semakin marak, kita sering kali terjebak dalam hiruk-pikuk kegiatan yang lebih mementingkan selebrasi dan seremoni daripada esensi. Literasi, yang seharusnya menjadi upaya kolektif untuk mencerdaskan bangsa, kini sering kali berubah menjadi ajang pencitraan demi memenuhi ambisi kelompok tertentu. Bagaimana ini bisa terjadi, dan apa yang sebenarnya hilang dari hakikat literasi di Indonesia?
Literasi Kehilangan Esensi
Dalam banyak kasus, kegiatan literasi digelar hanya sebagai pelengkap laporan kerja atau alat untuk mendapatkan kompensasi. Mulai dari lomba menulis hingga peluncuran buku bersama, acara-acara ini kerap dibalut seremoni besar dengan simbol-simbol keberhasilan yang sesungguhnya kosong makna. Banyak institusi atau kelompok merasa perlu untuk memamerkan “kegiatan literasi” demi menunjukkan bahwa mereka turut andil dalam mencerdaskan bangsa, padahal yang diperjuangkan hanyalah angka keikutsertaan, jumlah peserta, atau sertifikat penghargaan.
Akibatnya, literasi kehilangan ruhnya sebagai gerakan yang berakar pada pembelajaran, refleksi, dan transformasi. Alih-alih menciptakan karya bermakna, banyak orang terjebak dalam target kuantitas untuk mencetak buku sebanyak-banyaknya tanpa mempertimbangkan nilai isi dan dampaknya. Apakah ini yang kita sebut literasi? Atau hanya sekadar selebrasi? Mengutip Kata Shakespeare, Apalah arti sebuah nama. Ya hanya sebatas nama yang baik. Akan tetapi tidak ada esensi dan fungsi yang hakiki.
Kuantitas Mengalahkan Kualitas
Fenomena lain yang mengkhawatirkan adalah bagaimana literasi dinilai dari kuantitas karya, bukan kualitas. Dalam berbagai program literasi, penghargaan sering kali diberikan kepada individu atau kelompok yang berhasil memproduksi banyak tulisan atau buku. Namun, kualitas karya baik dari segi substansi, relevansi, maupun manfaat bagi masyarakat sering kali diabaikan.
Tulisan-tulisan yang dipublikasikan sering kali sekadar mengulang ide-ide lama tanpa inovasi dan kreasi. Tak jarang pula, hasil karya ini hanya sebatas untuk mengguugurkan kewajiban dan hanya sebagai penghias untuk melengkapi laporan. Literasi, yang sejatinya bertujuan untuk membangun pemikiran kritis dan daya nalar bangsa, tereduksi menjadi ajang pengguguran kewajiban.
Refleksi Moral untuk Pendidikan Masa Depan
Kondisi ini membutuhkan refleksi mendalam. Literasi sejatinya adalah proses membangun kesadaran kolektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan bijaksana. Gerakan literasi bukan sekadar proyek sekali jadi, melainkan perjalanan panjang yang memerlukan dedikasi untuk terus belajar dan berbagi.
Untuk masa depan pendidikan bangsa, kita harus kembali pada hakikat literasi yang sesungguhnya. Pertama, literasi harus diarahkan pada kualitas, bukan sekadar kuantitas. Karya yang dihasilkan harus mampu menginspirasi dan memberikan kontribusi nyata pada masyarakat. Kedua, gerakan literasi harus membangun budaya membaca, menulis, dan berdiskusi yang autentik, bukan sekadar seremoni belaka.
Terakhir, literasi harus menjadi alat untuk mendorong transformasi moral dan sosial. Dalam pendidikan, literasi dapat menjadi pilar utama untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab. Dengan begitu, literasi tidak hanya menjadi aktivitas, tetapi juga pondasi untuk membangun peradaban yang lebih baik.