Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mengimplementasikan sikap kebhinekaan dalam kehidupan pendidikan. Telah sering kita saksikan berbagai bentuk perlakuan yang mengeksklusifkan suatu agama untuk bisa diterapkan di sekolah negeri.Â
Sekolah negeri seperti yang kita tahu ialah sekolah umum dimana semua orang dengan berbagai macam latar belakang bisa menempuh pendidikan sehingga peraturan yang dibuat haruslah menyesuaikan dengan prinsip kebhinekaan yang netral dan adil. Namun, dengan banyaknya perlakuan tersebut semakin menggambarkan bahwa sikap kita sendirilah yang pada nyatanya bisa menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Beberapa contoh nyata perlakuan mengekslusifkan agama oleh aparat pendidikan, yaitu (1) pada tahun 2021, salah satu sekolah negeri di Padang mewajibkan pemakaian jilbab bagi siswi non-muslim (2) Seorang siswi yang dirundung oleh gurunya sendiri seakan masalah yang dihadapinya sebagai akibat dari dirinya yang tidak memakai jilbab sehingga siswa tersebut diperintahkan untuk tobat di depan teman-temannya (3) Selain dari berita, penulis mendapatkan pengalaman dari teman-teman penulis sendiri terkhususnya perempuan akan bagaimana mereka merasakan langsung bentuk perlakuan yang tidak menunjukkan sikap kebhinekaan saat menempuh pendidikan di jenjang SMP dan SMA.Â
Hal ini yang semakin dipertanyakan apakah pada akhirnya sekolah negeri adalah sekolahnya para masyarakat Indonesia dengan latar belakang berbeda atau hanya sebagai media untuk "menyeragamkan" hal tertentu.
Akar dari Dinamika Aspek Pendidikan Sekolah Negeri di Indonesia
Semua ini bermula pada era Soeharto dimana beliau melarang penggunaan jilbab dikarenakan atribut tersebut menggambarkan komunitas bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang telah secara nyata menunjukkan sikap radikalnya untuk meng-Islam-kan seluruh Indonesia.Â
Namun, semua berbanding terbalik ketika awal 1990-an dimana jilbab diperbolehkan untuk dipakai di ruang umum. Hal tersebut disinyalir sebagai bentuk Pak Soeharto mempertahankan kekuasaannya yang semakin tercekik karena masalah korupsi dan perekonomian.Â
Sejak saat itu, jilbab menjadi simbol loyalitas yang patut dibanggakan. Jilbab atau simbol-simbol agama kemudian masuk ke ranah bisnis, fesyen, maupun kehidupan masyarakat lokal secara keseluruhan.Â
Pemakaian jilbab pada perempuan Indonesia semakin meluas sebab adanya tafsir bahwa menutupi aurat perempuan ialah wajib padahal, nyatanya beberapa cendikiawan Islam menafsirkannya berbeda.
Menurut Lies Marcoes bentuk penafsiran jilbab yang demikian dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat Indonesia yang masih konservatif ditambah dengan fakta bahwa agama telah secara sengaja 'dibawa masuk' ke dunia politik.
Semenjak kekuatan politik di Indonesia mampu memegang kendali atas seluruh aspek kehidupan serta fakta bahwa mayoritas agama bangsa Indonesia adalah Islam. Oleh karenanya tak heran jika pada aspek pendidikan di sekolah negeri terdapat peraturan yang sebagian besar dipengaruhi oleh unsur-unsur keislamian. Hal tersebut mampu --dan bahkan telah- mengarah pada pembentukan sikap intoleransi terhadap keberadaan agama lain yang para murid yakini.