Asuransi Syariah, sebagai salah satu produk keuangan yang mengusung prinsip-prinsip Islam, yang telah mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia. Namun, keberadaan asuransi Syariah ini tidak lepas dari perdebatan panjang dikalangan ulama. Perbedaan pendapat dari status hukum asuransi Syariah ini melahirkan berbagai kontroversi yang menarik untuk dikaji. Artikel ini akan mengulas secara mendalam dari berbagai pandangan ulama Indonesia terkait asuransi Syariah, mulai dari landasan hukum Islam hingga implikasi praktisnya dalam kehidupan masyarakat.
Asuransi Syariah adalah asuransi yang menerapkan prinsip-prinsip syariah dan menganut ajaran fiqh dan Syariat. Asuransi Syariah juga banyak perdebatan dikalangan ulama, ada yang memperbolehkan dan juga ada yang menyatakan asuransi Syariah haram.Â
Penerapan asuransi Syariah di Indonesia merupakan sebuah upaya pemerintah untuk mewujudkan rasa aman menghadapi risiko, dan menciptakan pertimbangan religius. Seperti sosial ekonomi yang bersifat gotong royong dalam kebaikan dengan kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan syariah.
Implementasi tafakul dengan menggunakan prinsip tabarru' maka hibah tidak boleh dikembalikan ke nasabah. Sebagaimana dalam hadis Ibnu 'Abbas Radhiallahu 'anhuma berkata Nabi Shalallahu 'alahi wasallam bersabda: "Orang yang meminta kembali apa yang telah dihibahkannya bagaikan anjing yang muntah lalu menelan kembali apa yang dimuntahkannya kedalam mulutnya."Â
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan beberapa fatwa terkait asuransi syariah, di antaranya:
Fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001: Fatwa ini mengatur pedoman umum asuransi syariah. Fatwa ini menyatakan bahwa asuransi syariah diperbolehkan dalam ajaran Islam.Â
1. Fatwa 155/DSN-MUI/V/2023: Fatwa ini memberikan panduan mengenai asuransi jiwa dwiguna murni syariah.Â
2. Fatwa 150/DSN-MUI/VI/2022: Fatwa ini memberikan panduan mengenai asuransi kesehatan syariah.Â
3. Fatwa 149/DSN-MUI/VI/2022: Fatwa ini membahas mengenai asuransi jabatan dan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena perusahaan pailit.Â
4. Fatwa 148/DSN-MUI/VI/2022: Fatwa ini membahas mengenai reasuransi syariah.
Dalam pandangan anggota masyarakat Muhammadiyah bahwasannya tafakul merupakan bagian dari salah satu konsep muamalah yang terkait dengan ikhtiar. Tafakul juga dianggap suatu usaha mengamalkan satu nilai Maqashid Syariah yaitu menjaga harta (hifzul mal).
Menurut organisasi Nahdhatul Ulama (NU) mengelurkan pernyataan resmi terkait kebolehan asuransi sosial selama berdasarkan pada prinsip tolong menolong dan tidak ada unsur tujuan bisnis. Asuransi diperbolehkan bila memenuhi syarat, yaitu terdapat unsur saving (tabungan), dana takaful diinvestasikan pada sektor yang diperbolehkan dalam syarat prinsip syariah. artinya bahwa para ulama membolehkan selama dalam implementasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah.
Para Ulama dan seluruh organisasi Islam sepakat bahwa apabila terdapat takaful yang tidak berdasarkan pada prinsip syariah, walaupun takaful ini diperbolehkan jika bersifat darurat, dalam menyangkut hajat hidup orang banyak (Public Need).
Menurut Yusuf al-Qaradhawi (Muhammad Muslihuddin: 1969) mengatakan bahwa takaful yang sah sepenuhnya haram. Ia berpendapat bahwa asuransi itu seperti perjudian karena nasabah mengharapkan jaminan atau harta tanggungan melebihi jumlah premi. Jadi ada beberapa unsur riba. Lalu ada unsur ketidakpastian (gharar) dalam menghitung besaran yang akan diberikan, karena sangat bergantung pada apa yang terjadi ketika tanggungan akan dibayar oleh penanggung.
Kesimpulan:Â
Perbedaan pendapat mengenai status hukum asuransi syariah merupakan hal yang wajar dalam konteks dinamika pemikiran keagamaan. Setiap ulama memiliki argumentasi dan pertimbangan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, umat Islam disarankan untuk mencari informasi yang lebih lengkap dan mendalam serta berkonsultasi dengan ulama yang terpercaya sebelum mengambil keputusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H