Mohon tunggu...
Mochammad Jose Akmal
Mochammad Jose Akmal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sangat tertarik dengan isu Sosial dan Perpolitikan baik nasional maupun Internasional.

mahasiswa yang memiliki rasa ketertarikan dan minat yang luas akan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mencari Kerja: Antara Realita, Harapan, dan Humor Pahit Generasi Z

12 Oktober 2024   10:21 Diperbarui: 9 Desember 2024   23:28 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencari pekerjaan di zaman sekarang? Sama kayak nyari jarum di tumpukan jerami—tapi jeraminya kebakar! Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, ada 7 juta orang yang masih nganggur. Walaupun angka ini lebih rendah dibandingkan masa pandemi COVID-19, di mana pengangguran tembus 7,10 juta, masalahnya tetap ada. Pertumbuhan ekonomi kita keren, tapi pembukaan lapangan kerjanya? Ya gitu deh. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi cuma nambah 200 ribu pekerjaan, jauh dari era 1990-an yang bisa menyerap 600 ribu pekerja. Nostalgia yang menyakitkan, ya?

Sektor yang tumbuh pesat, seperti akomodasi dan makanan/minuman, malah terkesan “ngirit” tenaga kerja. Meski pertumbuhannya 10,9% per tahun, sektor ini cuma nyerap 1,18 juta pekerja. Sementara itu, survei Bank Indonesia malah bikin tambah deg-degan. Ekspektasi ketersediaan lapangan kerja enam bulan ke depan menurun, dari 131,4 di November 2023 jadi 129,9 di Desember. Yang paling terdampak? Generasi Z—alias generasi yang suka ngeluh “kerja keras, gaji tipis.”

Kenapa Generasi Z Susah Dapat Kerja?
Alasannya banyak, dan semuanya cukup bikin garuk-garuk kepala:

  1. Skill yang Enggak Update
    Kurikulum pendidikan kita sering ketinggalan zaman. Dunia kerja butuh software engineer, tapi lulusan malah sibuk ngapalin teori kalkulus. Jadinya? Mereka enggak siap masuk pasar kerja yang selalu berubah.

  2. Persaingan Super Ketat
    Banyak lowongan entry-level, tapi syaratnya? Harus punya pengalaman kerja lima tahun. Hah? Anak magang aja baru lulus semester lalu, kok sudah diminta pengalaman kerja kayak CEO?

  3. Digitalisasi dan Otomatisasi
    Banyak pekerjaan tradisional “diambil alih” oleh mesin dan algoritma. Kalau enggak mau kalah, ya harus belajar coding, minimal ngerti cara ngelobi ChatGPT biar bantu kerjaan.

Antara Harapan dan Realita
Generasi Z punya ekspektasi tinggi soal kerjaan. Gaji UMR? No, thanks. Mereka mau gaji besar, work-life balance, dan kantor yang ada pantri snack gratis. Tapi kenyataannya? Seringkali dapat kerjaan yang bikin overworked, underpaid, dan enggak ada Wi-Fi.

Solusi: Antara Serius dan Santai
Meski tantangannya besar, selalu ada jalan keluar—asal kita enggak nyerah duluan.

  1. Pelatihan Digital dan Soft Skills
    Belajar pemasaran digital, e-commerce, atau desain grafis bisa jadi langkah awal. Skill ini laku keras di dunia kerja masa kini.
  2. Bangun Jaringan
    Networking bukan sekadar ngomong basa-basi di acara seminar. Ini soal cari mentor, komunitas, atau grup LinkedIn yang bisa buka peluang kerja.
  3. Mental Baja, Hati Lapang
    Belajar menerima kenyataan—kadang kerjaan pertama enggak sesuai impian. Tapi jangan galau, ini batu loncatan buat karier masa depan.

Dan untuk perusahaan, ayo dong bikin lingkungan kerja yang lebih ramah buat anak muda. Toh, kalau Generasi Z bahagia, output kerja juga pasti meningkat.

Jadi, Generasi Z, tetap semangat ya! Kalau peluang enggak datang mengetuk pintu, kita bikin pintunya sendiri. Dan kalau pintunya masih enggak kebuka? Ya, coba buka usaha pantri snack. Pasti laris. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun