Mohon tunggu...
Mochammad Jose Akmal
Mochammad Jose Akmal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sangat tertarik dengan isu Sosial dan Perpolitikan baik nasional maupun Internasional.

mahasiswa yang memiliki rasa ketertarikan dan minat yang luas akan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Generasi Z di Tengah Krisis Lapangan Kerja: Siapkah Mereka Hadapi Bonus Demografi?

12 Oktober 2024   10:21 Diperbarui: 12 Oktober 2024   10:29 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Courtesy Creative Commons 

Mencari pekerjaan sekarang menjadi tantangan besar bagi anak muda. Bayangkan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Agustus 2023, ada 7 juta orang yang masih menganggur. Meski jumlah ini turun dibandingkan dengan masa pandemi COVID-19, saat pengangguran mencapai 7,10 juta orang pada Agustus 2019, tantangannya tetap ada. Masalahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia belum sepenuhnya diikuti dengan kesempatan kerja yang sebanding. Setiap 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu membuka sekitar 200 ribu lapangan pekerjaan, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan era 1990-an, di mana setiap 1% pertumbuhan bisa menyerap hingga 600 ribu pekerja.

Sektor-sektor yang mengalami pertumbuhan, seperti akomodasi dan makanan/minuman, hanya mampu menyerap 1,18 juta pekerja, meskipun pertumbuhannya mencapai 10,9% per tahun. Hal ini diperparah oleh survei Bank Indonesia yang menunjukkan ekspektasi ketersediaan lapangan kerja dalam enam bulan ke depan justru menurun---dari 131,4 pada November 2023 menjadi 129,9 pada Desember 2023. Penurunan terbesar terjadi di kelompok usia 20-30 tahun, yang artinya Generasi Z semakin sulit mendapatkan pekerjaan.

Mengapa Generasi Z menghadapi kesulitan ini? Pertama, keterampilan mereka sering kali tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Kurikulum pendidikan yang mereka terima tidak selalu mencakup teknologi atau metode kerja terbaru, sehingga mereka kurang siap menghadapi dunia kerja yang selalu berubah. Selain itu, persaingan di pasar kerja sangat ketat, terutama untuk posisi entry-level. Banyak posisi entry-level justru meminta pengalaman kerja, padahal para lulusan baru tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pengalaman tersebut. Program magang yang kurang efektif memperburuk situasi ini.

Masalah lain adalah perbedaan antara harapan dan kenyataan di dunia kerja. Banyak anak muda yang menolak pekerjaan dengan gaji rendah atau posisi yang mereka anggap tidak menarik, sehingga mereka memilih untuk menunggu pekerjaan yang "lebih baik." Sementara itu, digitalisasi dan otomatisasi semakin mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja di sektor-sektor tradisional. Bagi generasi muda yang tidak cepat beradaptasi dengan teknologi digital, mereka akan semakin kesulitan bersaing.

Gambar: Courtesy Creative Commons
Gambar: Courtesy Creative Commons

Kekhawatiran ini semakin besar jika kita memikirkan bonus demografi yang akan terjadi pada 2030. Jumlah penduduk usia produktif akan melonjak, tetapi tanpa keterampilan yang memadai, kesempatan ini bisa saja terbuang sia-sia. Media sosial, seperti TikTok, memang mempermudah akses informasi dan peluang kerja bagi generasi muda, tetapi di sisi lain, tekanan untuk selalu tampil sempurna dan kompetitif bisa mempengaruhi kesehatan mental mereka. Fenomena seperti toxic productivity dan FOMO (fear of missing out) turut menambah tingkat stres dan kecemasan, yang akhirnya mengganggu usaha mereka dalam mencari pekerjaan.

Meski tantangannya besar, solusi tetap ada. Pelatihan yang fokus pada keterampilan digital dan soft skills sangat penting. Misalnya, pelatihan di bidang e-commerce dan pemasaran digital dapat membantu anak muda mempersiapkan diri untuk dunia kerja yang serba digital. Pendidikan karakter dan manajemen diri juga harus ditingkatkan, agar mereka bisa lebih kuat secara mental dan emosional dalam menghadapi tantangan pekerjaan. Membangun jaringan dan komunitas yang mendukung juga sangat bermanfaat, karena interaksi sosial antar generasi bisa memberikan wawasan dan pengalaman yang berharga. Tak kalah penting, perusahaan juga harus menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung, sehingga bisa meningkatkan keterlibatan dan kepuasan kerja generasi muda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun