Mohon tunggu...
Mochammad Jose Akmal
Mochammad Jose Akmal Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sangat tertarik dengan isu Sosial dan Perpolitikan baik nasional maupun Internasional.

mahasiswa yang memiliki rasa ketertarikan dan minat yang luas akan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jakarta Dreams Shattered: Menelusuri Permasalahan Mimpi Kemakmuran di Jakarta

16 Februari 2024   15:41 Diperbarui: 16 Februari 2024   16:00 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jakarta, Ibukota Indonesia/ Wikimedia Commons

Jakarta, oh Jakarta, pesonamu begitu memikat. Bagaimana keindahanmu mampu memikat perhatian dari segala penjuru negeri, dari Sabang hingga Merauke, dari Sangihe sampai Rote. Semua mendambakan kehadiranmu, memilih merantau dan mengadu nasib di kota ini, oh Jakarta. 

Pesona ibukota perekonomian Indonesia ini bukanlah hal yang baru lagi. Mengingat bagaimana pesonanya dapat menarik perhatian perantau dari seluruh Indonesia. Alasannya beragam, tapi mayoritas memiliki motif yang sama, yakni ekonomi. Gaji di Jakarta merupakan yang tertinggi di Indonesia, siapa yang tidak tergoda dengannya?

Sejarah Jakarta sebagai ibu kota telah meliputi rentang waktu yang sangat panjang bagi para perantau. Menurut sejarawan JJ Rizal, tradisi merantau ke Jakarta telah ada sejak zaman kolonial, dan semakin meningkat pada awal abad ke-20. Jakarta juga menjadi pusat pembangunan di Indonesia, karena pembangunan yang cenderung sentralistik, mengakibatkan persepsi bahwa desa-desa menjadi tertinggal. 

Hal ini menyebabkan banyak orang berpikir bahwa kunci kesuksesan adalah dengan merantau ke ibu kota. Pada tahun 1950, penduduk Jakarta berjumlah 1.600.000 jiwa, bertambah pada tahun 1960 menjadi 2.900.000 jiwa. Angka ini terus bertambah dengan sangat signifikan menjadi lebih dari 4 juta pada akhir tahun 1960-an. 

Pada survei tahun 1953, survei di distrik-distrik tertentu di bagian kota Jakarta memberikan gambaran bahwa 75 persen penduduk di sana merupakan warga kelahiran dari luar Jakarta. Dengan jumlah ini, hampir setengahnya bermigrasi ke kota Jakarta sejak tahun 1949.

Mengapa memilih merantau ke Jakarta? Seiring dengan kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan secara mutlak pada tahun 1949, banyak orang memilih untuk datang dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia, Jakarta menjadi lambang kemakmuran yang diharapkan akan dihasilkan oleh kemerdekaan tersebut. 

Kota Jakarta menawarkan kesempatan bagi penduduk pedesaan untuk mencari kemajuan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagai simbol dari kemerdekaan dan kedaulatan bangsa, Jakarta menjadi titik harapan bagi siapa pun yang merantau ke sana.

Namun, apakah kenyataannya sekarang demikian? Apakah Jakarta masih menjadi tujuan yang diidamkan untuk mencapai kesuksesan? Apakah Jakarta masih menjadi kota yang diimpikan untuk meraih keberhasilan?

Jakarta seolah jauh dari kilauan glamor yang dikemukakannya. Contohnya, dalam hal perumahan, banyak warga Jakarta yang tinggal di tempat yang tidak layak, bahkan ada yang tidak memiliki tempat tinggal sama sekali. Bukanlah hal yang jarang melihat mereka tinggal di bawah jembatan, di tepi jalan, dan di tempat-tempat lain yang tidak layak huni. Kondisi ini dipicu oleh terus meningkatnya harga rumah, sementara pendapatan tetap stagnan. 

Berdasarkan laporan Bank Dunia berjudul "Time to Act" tahun 2019, rasio harga rumah per pendapatan penduduk Jakarta mencapai 10,3. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota besar lain seperti Singapura (4,8), New York (5,7), dan London (8,5). Sebagai akibatnya, hanya segelintir kecil dari jumlah penduduk Jakarta yang mampu membeli rumah di sana.

Ini diperkuat dengan informasi bahwa rata-rata pendapatan pekerja di Jakarta berkisar antara Rp 5 hingga 10 juta. Dengan kemampuan mencicil sekitar Rp 3 juta per bulan, ini merupakan jarak yang sangat besar bahkan untuk menyewa apartemen di pusat kota yang harganya sudah melambung tinggi. 

Data survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa biaya hidup per rumah tangga di Jakarta mencapai Rp 14,88 juta pada tahun 2022. Angka ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta tahun 2022 yang hanya sebesar Rp 4,64 juta. Tentu saja, pertanyaannya adalah, bagaimana bisa rata-rata biaya hidup di Jakarta mencapai 3,2 kali lipat dari UMR di daerah tersebut?

Belum lagi, Jakarta dihadapkan pada kenyataan yang pelik bahwa kemungkinan akan tenggelam di masa depan. Sejak tahun 2002, pemerintah telah berupaya mencegah hal tersebut dengan membangun tembok pantai. Namun, tembok tersebut ternyata tidak mampu menghentikan gelombang rob dari Laut Jawa. 

Pada tahun 2007, bencana itu menelan korban jiwa sebanyak 80 orang dan menimbulkan kerugian ratusan juta dolar. Jakarta telah menghadapi ancaman tenggelam yang sangat mengkhawatirkan, terutama di bagian utara, dengan penurunan mencapai 35 cm per tahun, atau sekitar 40 persen dari wilayah Jakarta saat ini. Jakarta berada di peringkat teratas sebagai salah satu kota paling rawan tenggelam di dunia menurut BigThink.com, di bawah Semarang.

Dengan melihat kondisi saat ini, diharapkan akan ditemukan solusi komprehensif untuk menangani sejumlah masalah vital yang dihadapi oleh Kota Jakarta. Meskipun nantinya kehilangan status sebagai ibu kota, Jakarta tetap akan menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Semoga di masa depan, Jakarta beserta penduduknya tetap tegar dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada.

--

Daftar Pustaka 

Petriella, Y., & Z. (2020, December 1). Mengapa Sulit Memiliki Rumah di Jakarta? Bisnis.com. https://ekonomi.bisnis.com/read/20201201/47/1324924/mengapa-sulit-memiliki-rumah-di-jakarta

Azzahra, T. A. (2023, July 17). Susahnya Beli Rumah di Jakarta, Sampai Ada yang Tinggal di Kolong Tol. Detikproperti. https://www.detik.com/properti/berita/d-6827576/susahnya-beli-rumah-di-jakarta-sampai-ada-yang-tinggal-di-kolong-tol

Tiwari, F. G. S. M. R. S., Tiwari, F. G. S. M. R. S., & Tiwari, F. G. S. M. R. S. (2023, October 2). Time to ACT! Realizing Indonesia's urban potential. World Bank Blogs. https://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/time-act-realizing-indonesias-urban-potential

Renaldi, A. (2022, July 29). Indonesia's giant capital city is sinking. Can the government's plan save it? Environment. https://www.nationalgeographic.com/environment/article/indonesias-giant-capital-city-is-sinking-can-the-governments-plan-save-it

Indonesia, C. (2022, May 7). Orang-orang Rantau dan Asal-usul Urbanisasi usai Lebaran ke Jakarta. Nasional. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220507073317-20-793759/orang-orang-rantau-dan-asal-usul-urbanisasi-usai-lebaran-ke-jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun