Mohon tunggu...
Mochamad Toha
Mochamad Toha Mohon Tunggu... Jurnalis - Kini bekerja di Forum News Network

Jurnalis di Forum News Network. Jika ingin jadi teman, cukup tulis: toha.forum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menyibak Potensi Pasir Besi Jawa Timur

6 Oktober 2015   20:36 Diperbarui: 6 Oktober 2015   20:36 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Pasir Besi Lumajang yang Menjadi Malapetaka Ekologi dan Sosiologi."][/caption]Konflik pertambangan pasir hitam di Kecamatan Pasirian, Lumajang, yang lalu berbuntut dengan penganiayaan Tosan dan Salim alias Kancil, dua warga Desa Awar-awar sebenarnya merupakan puncak dari konflik-konflik sebelumnya yang juga pernah terjadi di sana terkait dengan hak kelola lahan tersebut.

Pada Kamis, 2 Juli 2009, misalnya, terjadi konflik antara sopir truk pasir dengan Pemkab Lumajang dan PT Mutiara Halim selaku pemegang Kontrak Kerjasama Operasional (KSO). Mereka melakukan protes dan menguasai jalur lintas selatan yang menghubungkan wilayah Kabupaten Lumajang dengan Kabupaten Malang.

Mereka memarkir kendaraannya menutup jalan sejak Rabu, 1 Juli 2009, malam. Sehingga, terjadi kemacetan hingga mencapai sekitar 3 km. Para sopir truk pasir yang melakukan aksi mogok itu memilih memarkirkan truknya di sekitar timbangan pasir Desa Madurejo, Pasirian. Kejadian ini dipicu adanya 2 penarikan restribusi pasir, yang dilakukan Pemkab Lumajang dan PT Mutiara Halim, pemegang kontrak KSO.

Mutiara Halim adalah pemegang KSO yang telah dimenangkan PTUN Surabaya terkait dengan sengketa pengelolaan. Sedangkan Pemkab mengacu pada aturan Undang-Undang yang menyebutkan, pemungutan berbagai bentuk restribusi atau pajak, tidak boleh diserahkan pada pihak ketiga.

Penambangan pasir di daerah aliran sungai Besuk Sat, Desa/Kecamatan Pasrujambe, Lumajang, Jawa Timur, yang berada di bawah kaki Gunung Semeru (tinggi 3.676 mdpl) itu memang telah menjadi magnet bagi para penambang dan pengusaha. Sebab, selama ini pasir hitam dari sini dikenal berkualitas.

Menurut DR. Suparto Wijoyo, pakar hukum lingkungan Universitas Airlangga Surabaya, Pemprov Jatim perlu menata ulang wilayah pertambangan. Ia mendesak Gubernur Soekarwo untuk melakukan redesain kawasan tambang konservasi pertambangan. ”Kini perlu dilakukan moratorium mining,” katanya.

Seperti penambangan pasir di Lumajang, kata Suparto, Jatim sedang mengalami krisis pertambangan dengan terus terjadinya destruksi ekologis. ”Kerusakan kawasan tambang adalah kejahatan konservasi yang harus dilakukan penegakan hukum. UU Konservasi, UU Pertambangan, dan UU Lingkungan harus ditegakkan,” ujarnya.

Pasir Hitam Itu Adalah Pasir Besi

Pada Desember 2005, saya pernah menulis sebuah artikel berjudul: Pasir Besi, “Emas Hitam” Jatim yang Menjanjikan. Ini yang saya catat waktu itu. Beberapa wilayah pantai Selatan di Jawa Timur (Jatim) ternyata memiliki kandungan pasir besi yang cukup besar. Di pantai Puger, Jember Selatan, pasir besinya seluas 60 hektar.

Pantai Lumajang Selatan juga memiliki pasir besi dengan luas yang hampir sama. Lahan ini dikuasai oleh penduduk. Mereka punya izin, tapi tak ada dana untuk eksplorasi. Pasir besi Lumajang ini yang paling bagus di Jatim. Malang Selatan juga memiliki pasir besi yang cukup besar dengan parameter yang bervariasi.

Dalam catatan Laporan Analisis Laboratorium Sucofindo yang ditandatangani Assisten Operation Manager, Mohammad Soleh, ST, total Fe mencapai sekitar 54.96 persen dan Fe as Fe2O3 sebesar 78.58 persen. Blitar Selatan, juga memiliki pasir besi seluas sekitar 60 hektar. Kabarnya, pasir besi Blitar ini sudah mulai dieksplorasi untuk diekspor ke Cina.

Kapasitas produksinya bisa mencapai sekitar 50 ribu ton/bulan. Pengusaha asal Cina dan Korea Selatan sekarang ini memang sedang memburu pasir besi di Jatim. Di Tulungagung Selatan juga mempunyai pasir besi seluas 60 hektar. Sebagian potensi tambang ini berada di pemukiman warga yang tinggal di sekitar pantai.

Di Trenggalek dan Tuban juga memiliki pasir besi dengan luas yang hampir sama dengan di daerah Jatim lainnya. Semua lokasi pasir besi di Jatim itu rata-rata memiliki kedalaman 8 meter. Menurut surveyor yang sudah mendatangi semua pantai tersebut, setiap lokasi itu diperkirakan mengandung pasir besi sekitar 6 juta ton yang bisa dieksplorasi selama 5 sampai 10 tahun.

Sayangnya pemerintah kurang peduli pada potensi “emas hitam” tersebut. Pemerintah tak begitu memperhatikan salah satu bahan baku besi-baja yang mulai diburu pengusaha dunia ini. Potensi pasir besi itu hingga kini belum tersentuh benar. Padahal, besi sekarang sudah seperti emas, karena harganya mulai tinggi di pasar dunia.

Masih enggannya investor untuk menggali potensi alam ini karena masih belum adanya dukungan infrastruktur dan sarana penunjang lainnya seperti pelabuhan. Sebelum melakukan eksplorasi, pemerintah biasanya meminta kepada investor supaya membangun pelabuhan. Tapi yang dikhawatirkan investor ini adalah bila sudah dibangun dan melakukan eksplorasi, di tengah jalan tiba-tiba diambil-alih pemerintah.

Padahal, hasil yang bisa diperoleh dari eksplorasi pasir besi diantaranya, selesai kontrak pemerintah dapat memiliki pelabuhan sendiri. Juga bisa mengembangkan pariwisata pantai. Selain Jatim, sebagian pantai di Jawa Barat (Jabar), Banten, Sumatera Barat (Sumbar), dan Bengkulu, juga memiliki potensi pasir besi yang lebih besar.

Adanya kelangkaan bahan baku besi-baja membuat pengusaha asal Cina, Korea Selatan, dan Jepang tertarik untuk eksplorasi pasir besi di Indonesia. Selama ini banyak pabrik besi-baja di dunia, termasuk di Indonesia, hanya bisa mendaur ulang besi-tua yang tersedia di masyarakat.

Setidaknya, sebanyak 70 persen kebutuhan bahan bakunya masih berupa besi-tua. Sisanya, 30 persen, berupa material lain. Sementara kebutuhan terhadap bahan baku tersebut cukup tinggi. Bahan baku yang dibutuhkan pabrik besi-baja yang ada di Indonesia ini setiap bulan sekitar 250 ribu ton besi-tua.

Sementara bahan baku yang tersedia di Indonesia cuma separuh dari kebutuhan, yaitu sekitar 125 ribu ton. Sisa kekurangannya selama ini diperoleh dengan impor dari Australia, India, Rusia, Jerman, dan negara Eropa lainnya. Bahan baku ini pun belakangan ini mulai berebutan dengan Cina yang sedang giat membangun infrastruktur di negerinya.

Sebab, saat itu banyak pabrik besi-baja yang dibangun di sana. Sebagian produk Indonesia juga banyak yang diekspor, termasuk ke Cina. Sementara produk besi-baja Indonesia sampai sekarang ini baru sekitar 330 ribu ton/bulan. Di Jatim, baru ada PT Ispat Indo yang mampu memproduksi sekitar 60 ribu ton/bulan.

Sedangkan 4 pabrik lainnya, PT Hanil Jaya, PT Jatim Steel, PT Alim Steel, dan PT Master Steel, masing-masing baru mampu produksi sekitar 30 ribu ton/bulan. Jadi, total produksi ke-5 pabrik itu hanya sekitar 150 ribu ton/bulan.

Juga, pabrik yang ada di Jakarta dan sekitarnya, seperti PT Garuda Master Steel dan 3 pabrik lainnya rata-rata hanya mampu memproduksi sekitar 30 ribu ton/bulan. Yang terbesar adalah PT Krakatau Steel yang mampu menyamai Ispat Indo, sekitar 60 ribu ton/bulan.

Jadi, total produksi pabrik di Jakarta dan sekitarnya hanya sekitar 180 ribu ton/bulan. Jika dihitung, total produksi besi-baja yang ada di Indonesia hanya sekitar 330 ribu ton/bulan. Harga bahan baku besi-baja setiap saat selalu berubah.

Pada sekitar Maret-April 2004 lalu, misalnya, harganya masih sekitar Rp 1.250/kg, tapi pada Agustus harga besi-tua malah melonjak antara Rp 700/kg hingga Rp 2.200. Harga Rp 700/kg itu untuk sejenis kaleng, danRp 2.200 untuk jenis besi-tua termahal. Harga di luar pabrik malah ada yang berani sampai Rp 2.250/kg.

Sekarang ini, pabrik cuma berani membeli dengan harga Rp 2.000/kg. Karena kekurangan bahan baku dan produk inilah yang membuat harga bahan baku dan produknya menjadi tak stabil. Hingga akhir 2004 lalu harga dari pabrik masih berkisar antara Rp 4.750 hingga Rp 5.000/kg untuk besi beton.

Tak salah jika ada anggapan satu-satunya usaha yang masih bisa dinikmati adalah bisnis besi-tua. Tapi sampai kapan bahan baku seperti besi-tua ini tersedia di masyarakat, itu yang patut dipertanyakan. Karena selama ini belum ada bahan pengganti besi-baja. Proyek-proyek banyak yang tak bisa jalan karena bahan bakunya langka. Diperkirakan, 5 hingga 10 tahun ke depan bahan baku besi-baja ini bakal habis. Karena adanya kelangkaan bahan baku, investor besi-baja enggan masuk ke Indonesia.

Sekarang ini banyak pabrik dan investor yang tengah mencari bahan baku besi-baja. Salah satunya yaitu pasir besi. Sebagai wilayah yang mempunyai potensi pasir besi, sudah saatnya Pemprov Jatim mendorong Pemkab setempat segera “mengelola” SDA yang bernilai seperti “emas” itu dengan bijaksana tanpa mengabaikan keselamatan lingkungan.

Dengan kontrol yang ketat dari Pemprov Jatim dan Dinas terkait, pengelolaan tambang pasir besi itu bisa dikelola dengan baik sehingga tidak merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Jika ditambang secara legal, maka bisa diketahui, kemana saja pasir besi yang diangkut truk-truk itu dikirim, sehingga kasus Tosan-Salim tidak terulang.@

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun