Mohon tunggu...
Mochamad Toha
Mochamad Toha Mohon Tunggu... Jurnalis - Kini bekerja di Forum News Network

Jurnalis di Forum News Network. Jika ingin jadi teman, cukup tulis: toha.forum@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Megawati Belum Tanggapi "Youtube" Presiden SBY

1 Mei 2014   17:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59 2162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13989287581686258921

[caption id="attachment_334233" align="aligncenter" width="560" caption="Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) dan Wakil Presiden Boediono (kedua kanan) memberi salam kepada Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri (kiri) ketika memasuki ruang acara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/11/2012). | Ilustrasi/Kompas (Riza Fathoni)"][/caption]

Ternyata Masih Ada "Dendam Politik" di Indonesia!

Sejarah Raja-raja Jawa mencatat, Ken Arok awalnya hanya seorang rakyat jelata, anak Ken Endok, petani desa di tepi Sungai Brantas di kawasan Tumapel, yang berada di utara Kota Malang sekarang. Ia lahir dalam keadaan yatim. Ibunya lalu membuangnya dengan harapan agar bayi itu ditemukan dan diasuh seseorang.

Ken Arok akhirnya ditemukan Lembong, seorang pencuri. Ia tumbuh dan berkembang  dalam lingkungan sebagai pencuri dan penyamun, menjadi pencuri cerdik dan panjang akal. Lantaran tangguh dan uletnya, nama Ken Arok sampai terdengar Tunggul Ametung, Raja Tumapel. Ia pun diangkat menjadi Punggawa Raja.

Sebagai salah seorang pengawal raja, Ken Arok selalu berada di dekat Raja Tumapel itu. Karena dekat, ia pun sering melihat dan tertarik dengan kecantikan Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Kecakapannya ternyata juga menjadi daya tarik bagi Ken Dedes. Ken Arok lantas menyusun siasat untuk merebut Ken Dedes.

Ia bertekad "merampas" Ken Dedes dari tangan Tunggul Ametung. Satu-satunya jalan ya harus membunuhnya. Ken Arok lalu memesan keris kepada Empu Gandring. Namun, belum tuntas garapan kerisnya, ternyata Ken Arok keburu datang. Ia marah dan menusuk Empu Gandring dengan keris pesanannya sampai tewas.

Konon, sebelum tewas, Empu Gandring sempat bersumpah, 7 orang raja akan menjadi korban keris itu. Tunggul Ametung menjadi korban pertama. Ken Arok pun menjadi raja, setelah memperistri Ken Dedes. Di tangan Ken Arok, Sri Kertajaya, Raja Kadiri, berhasil dikalahkan dalam Perang Ganter yang terjadi pada 1222.

Sejak itu tamatlah riwayat Kerajaan Kadiri yang dibangun Raja Kahuripan Airlangga. Ken Arok lalu mendirikan Kerajaan Singosari dan bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Amurwabhumi, dan memerintah hanya dalam kurun waktu 5 tahun (1222-1227). Ia tewas di tangan pengalasan Anusopati, putra Tunggul Ametung.

Tidak hanya sampai di sini. Keris Empu Gandring ini juga akhirnya menjadi pencabut nyawa Anusopati yang sempat menjadi Raja Singasari. Pelakunya adalah Tohjaya, anak Ken Arok dari selir Ken Umang. Di sinilah muncul "politik balas dendam" dalam wangsa Ken Arok yang kelak menjadi cikal bakal raja-raja Jawa.

Hasil perkawinan Ken Arok dengan Ken Dedes membuahkan anak bernama Mahesa Wong Ateleng, Panji Saprang, Agnibhaya dan Dewi Rimbu. Dari selir Ken Umang, Ken Arok memiliki anak bernama Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wergola, dan Dewi Rambi. Politik balas dendam inikah yang diwarisi sekarang ini?

Ketika Presiden Soekarno dijatuhkan lewat Super Semar, mendiang Bung Karno tidak mau ditengok Presiden Suharto di saat-saat menjelang akhir hayatnya. Tatkala Presiden Suharto dilengserkan Ketua DPR-MPR Harmoko yang lantas menetapkan B.J. Habibie sebagai Presiden RI, dendam politik masih saja terjadi.

Hingga menjelang akhir hayatnya, Habibie dan Harmoko belum pernah bertemu Pak Harto. Situasi seperti ini sempat pula ditempuh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, setelah dijatuhkan Ketua DPR Akbar Tanjung bersama Ketua MPR Amin Rais yang lalu mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.

Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim As'ary yang akrab dipanggil Gus Dur tersebut sempat enggan bicara dan bertemu dengan Amin Rais, Akbar Tanjung, dan Megawati, karena merasa "dikhianati". Dalam setiap upacara HUT RI pun, Gus Dur tak pernah hadir di Istana Negara. Ini politik balas dendam!

Kenyataan seperti itu kini juga dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bibit dendam politik ini mulai muncul sejak SBY mundur dari jabatan Menkopolkam di masa pemerintahan Presiden Megawati. Almarhum Taufik Kiemas, suami Megawati, pernah menyebut SBY sebagai jenderal "kekanak-kanakan".

Sejak itulah bibit "konflik politik" antara Pemerintah (baca: SBY - Wakil Presiden M. Jusuf Kalla) dengan Megawati sebagai "oposisi" mulai tumbuh. Kebijakan Pemerintah selalu dikritisi secara negatif. Megawati pernah menilai Pemerintah seperti tarian Poco-Poco, maju selangkah, mundur dua langkah. Lalu dibalas!

Jika kebijakan pemerintahan SBY-JK tentang pemberantasan kemiskinan ibarat penari poco-poco, "Megawati ibarat penari undur-undur." Artinya, "Tidak pernah maju, tetapi mundur terus." Jika Megawati berhasil, mestinya menang dari SBY. Ternyata Megawati kalah alias tidak dipilih kembali oleh rakyat Indonesia.

Wapres JK tak kalah sengit. Prestasi pemerintahannya bersama SBY jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pemerintahan Megawati. Kata JK, poco-poco itu sehat. Lagian, "Gerakannya bersatu. Langkah (dalam tarian poco-poco) itu yang paling ritmis." JK balik menyebut, pemerintahan Megawati ibarat "tarian dansa".

Hanya berputar-putar di tempat. "Poco-poco jauh lebih baik dari dansa-dansa yang berputar-putar, sambil jualan gas yang murah pula," ungkapnya. Pada 24 Maret 2002, Megawati menjalankan "diplomasi dansa" dengan Presiden Tiongkok Jiang Zamin saat berkunjung ke Beijing.

Ketika itu, Megawati menyanyikan lagu Bengawan Solo di depan Presiden Jiang yang disambut lagu Tiongkok Bagaimana Saya Tak Kehilangan Dia. Diplomasi dansa dijalani Megawati untuk melobi Beijing agar mau membeli LNG dari lapangan Tangguh di Papua untuk industri di Guang Zhou dan Fujian.

Dan, diplomasi ini berhasil membuahkan kontrak penjualan sebesar 2,6 juta metric ton LNG per tahun untuk Provinsi Fujian dengan harga jual USD 2,4 per MMBTU (Million British Thermal Unit). Harga itu jauh lebih murah dibanding dengan harga pasar yang saat itu mencapai USD 6 per MMBTU.

JK jelas tahu mengenai hal tersebut. Karena, dia dulu pernah menjadi Menkokesra di pemerintahan Presiden Megawati menjabat presiden. JK juga tak mau jika pemerintahan yang dibangun bersama SBY dinilai gagal. Kini, Megawati tetap menilai negatif terhadap kinerja Presiden SBY dengan sebutan seperti Yoyo.

Penilaian Megawati itu dijawab dengan iklan "naik-turun" anggaran dan harga BBM. Rakyat hanya bisa menjadi penonton telenovela panggung politik dan perseteruan para pemimpin mereka. Tak hanya itu. Rakyat lantas bisa menilai, ternyata para politisi dan pemimpin kita memang seperti "kekanak-kanakan".

Kini, dalam pemilu legislatif (pileg) 9 April 2014 lalu, partainya Megawati menjadi pemenang pileg mengungguli partainya SBY. Upaya komunikasi politik yang diajukan SBY melalui "rekaman Youtube" pun beredar. Isinya, keinginan SBY untuk bertemu dengan Megawati, yang belum ditanggapi olehnya.@

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun