Hingga menjelang akhir hayatnya, Habibie dan Harmoko belum pernah bertemu Pak Harto. Situasi seperti ini sempat pula ditempuh mantan Presiden Abdurrahman Wahid, setelah dijatuhkan Ketua DPR Akbar Tanjung bersama Ketua MPR Amin Rais yang lalu mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden.
Cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim As'ary yang akrab dipanggil Gus Dur tersebut sempat enggan bicara dan bertemu dengan Amin Rais, Akbar Tanjung, dan Megawati, karena merasa "dikhianati". Dalam setiap upacara HUT RI pun, Gus Dur tak pernah hadir di Istana Negara. Ini politik balas dendam!
Kenyataan seperti itu kini juga dialami Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bibit dendam politik ini mulai muncul sejak SBY mundur dari jabatan Menkopolkam di masa pemerintahan Presiden Megawati. Almarhum Taufik Kiemas, suami Megawati, pernah menyebut SBY sebagai jenderal "kekanak-kanakan".
Sejak itulah bibit "konflik politik" antara Pemerintah (baca: SBY - Wakil Presiden M. Jusuf Kalla) dengan Megawati sebagai "oposisi" mulai tumbuh. Kebijakan Pemerintah selalu dikritisi secara negatif. Megawati pernah menilai Pemerintah seperti tarian Poco-Poco, maju selangkah, mundur dua langkah. Lalu dibalas!
Jika kebijakan pemerintahan SBY-JK tentang pemberantasan kemiskinan ibarat penari poco-poco, "Megawati ibarat penari undur-undur." Artinya, "Tidak pernah maju, tetapi mundur terus." Jika Megawati berhasil, mestinya menang dari SBY. Ternyata Megawati kalah alias tidak dipilih kembali oleh rakyat Indonesia.
Wapres JK tak kalah sengit. Prestasi pemerintahannya bersama SBY jauh lebih baik bila dibandingkan dengan pemerintahan Megawati. Kata JK, poco-poco itu sehat. Lagian, "Gerakannya bersatu. Langkah (dalam tarian poco-poco) itu yang paling ritmis." JK balik menyebut, pemerintahan Megawati ibarat "tarian dansa".
Hanya berputar-putar di tempat. "Poco-poco jauh lebih baik dari dansa-dansa yang berputar-putar, sambil jualan gas yang murah pula," ungkapnya. Pada 24 Maret 2002, Megawati menjalankan "diplomasi dansa" dengan Presiden Tiongkok Jiang Zamin saat berkunjung ke Beijing.
Ketika itu, Megawati menyanyikan lagu Bengawan Solo di depan Presiden Jiang yang disambut lagu Tiongkok Bagaimana Saya Tak Kehilangan Dia. Diplomasi dansa dijalani Megawati untuk melobi Beijing agar mau membeli LNG dari lapangan Tangguh di Papua untuk industri di Guang Zhou dan Fujian.
Dan, diplomasi ini berhasil membuahkan kontrak penjualan sebesar 2,6 juta metric ton LNG per tahun untuk Provinsi Fujian dengan harga jual USD 2,4 per MMBTU (Million British Thermal Unit). Harga itu jauh lebih murah dibanding dengan harga pasar yang saat itu mencapai USD 6 per MMBTU.
JK jelas tahu mengenai hal tersebut. Karena, dia dulu pernah menjadi Menkokesra di pemerintahan Presiden Megawati menjabat presiden. JK juga tak mau jika pemerintahan yang dibangun bersama SBY dinilai gagal. Kini, Megawati tetap menilai negatif terhadap kinerja Presiden SBY dengan sebutan seperti Yoyo.
Penilaian Megawati itu dijawab dengan iklan "naik-turun" anggaran dan harga BBM. Rakyat hanya bisa menjadi penonton telenovela panggung politik dan perseteruan para pemimpin mereka. Tak hanya itu. Rakyat lantas bisa menilai, ternyata para politisi dan pemimpin kita memang seperti "kekanak-kanakan".