Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenaikan Tarif KRL

2 Maret 2024   10:07 Diperbarui: 2 Maret 2024   10:10 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kementerian Perhubungan dan KAI Commuter sedang membahas penyesuaian tarif KRL Jabodetabek (Kompas, 1Ml Maret  2024)

Kalimat di atas jelas sangat berbau Orde Baru  sekali. Kata apa yang menunjukkan kalimat tersebut sangat Orba?

Sebagai angkatan kolonial,  penulis sangat paham bagaimana Orde Baru memainkan kata, bahkan menundukkan rakyat melalui penyimpangan makna kata. 

Kata "penyesuaian tarif" bukan bermakna menyesuaikan tapi bermakna mengalami kenaikan tarif.  Kenaikan tarif pasti akan menohok pemikiran orang waras untuk berontak. Sedangkan penyesuaian akan membingungkan. 

Tapi, bukankah Orde Baru memang sudah kembali?

Tapi biarlah.  Kita fokus pada kinerja pemerintah saja. Karena baru beberapa hari juga,  Presiden Jokowi mengeluhkan kemacetan Jakarta walaupun sudah ada KRL,  MRT,  LRT,  bahkan kereta cepat (walaupun untuk kereta cepat kok seperti memaksakan diri).

Jika pemerintah ingin mengurangi kemacetan,  tentunya pemerintah harus membangun transportasi umum. Bukan hanya transportasi umum, tapi juga transportasi umum yang baik.

Bagaimana transportasi umum yang baik?

Transportasi umum yang mampu menjangkau masyarakat.  Jika LRT,  MRT,  KRL belum mampu menjangkau masyarakat,  maka harus dibuat transportasi yang bisa menyambungkan keberadaan transportasi umum tersebut ke kantung kantung tinggal masyarakat.  

Adanya Jaklingko menjadi sangat vital. Hanya saja Jaklingko hanya ada di Jakarta.  Sementara pekerja di Jakarta lebih banyak berasal dari daerah penyangga. 

Transportasi umum juga harus terjangkau.  Jika ongkos berangkat kerja dengan motor lebih besar ketimbang naik bus trans Jakarta,  LRT,  MRT,  atau KRL,  maka orang akan memilih  naik transportasi umum.  Akan tetapi,  jika biaya naik transportasi umum lebih besar dibandingkan dengan biaya bensin untuk motor,  maka akan sulit membuat Jakarta tidak macet. 

Untuk membuat ongkos transportasi murah berarti harus ada subsidi pemerintah.  Dan seharusnya memang demikian. Tanpa subsidi pemerintah,  kondisi transportasi umum bobrok karena tak mampu membiayai hidup dirinya sendiri. 

Persoalan subsidi ini yang kadang memprihatinkan. Pemerintah lebih senang memberikan subsidi pada kendaraan listrik daripada untuk transportasi umum. Sehingga Jakarta akan semakin macet oleh kendaraan listrik meskipun subsidi sudah jor joran digelontorkan. 

Kondisi transportasi umum juga harus nyaman.  Untuk membuat kondisi transportasi umum nyaman kan juga butuh dana. Inilah yang membuat dilema pengelolaan transportasi umum. Ingin menjadi nyaman tapi harus murah.  Sementara pemerintah seakan bersikap setengah hati. 

Di tengah kenaikan berbagai kebutuhan pokok, upaya penyesuaian tarif kereta adalah sebuah sikap tidak arif.  Bahkan dalam jangka panjang pun, ketika pengelolaan transportasi umum belum menjadi komitmen pemerintah,  akan terjadi kejadian berulang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun