Kamdi duduk terdiam memegang koran Kompas hari kemarin. Â Tak ada satu katapun keluar dari mulutnya. Â Tatapan matanya seakan begitu jauh, kosong.Â
"Ada apa, Kam?" tanya istrinya.
Kamdi hanya menyorongkan koran Kompas yang ada di tangannya.Â
Mata Titi, istri Kamdi mencoba mencari apa yang dimaksud Kamdi. Tapi, Kamdi hanya membaca tulisan tentang  Pilpres yang diikuti anak presiden petahana.  Ada tudingan bahwa presiden telah melanggar etika, bahkan hukum.Â
Ada juga berita tentang kekeringan. Â Kemarau panjang ini telah membuat beberapa waduk airnya tinggal seperenamnya.
Ada juga berita tentang harga dollar yang menyentuh angka 16 ribu. Berita tentang insentif pajak kepada investor.Â
"Mau ikut pilpres?" tanya Titi menahan geli.
Kamdi kembali menunjuk koran Kompas yang masih dipegang Titi.
"Mau dapat insentif pajak? Kayak orang orang kaya itu?"
Kembali Kamdi menunjuk  koran Kompas yang  Belu juga bikin Titi mudeng.
"Apa sih?" Titi jengkel sambil membuang koran.
Kamdi mengambil koran itu. Kemudian menunjukkan berita kecil di pojok halaman.Â
"13 Korban Meninggal akibat Miras Oplosan di Indramayu."
Titi kaget. Â Baru kemarin kakak iparnya datang ke rumahnya. Â Katanya mau pinjam uang untuk bayar utang. Padinya yang gagal panen karena kemarau panjang membuatnya terlilit utang.
Tapi, mau gimana lagi?
Kamdi juga sedang tidak ada uang. Untuk keperluan kuliah anaknya saja masih belum lunas. Perguruan tinggi negeri juga sekarang bayaran nya mahal. Jadi, Â kakak iparnya pulang dengan tangan kosong.Â
"Kang Radi ikut?"
"Iya."
"Lagian, Â miras Oplosan kok bisa beredar?"Â
"Embuh."
"Masa polisi gak tahu?"
"Embuh."
"Apa semuanya mikirin pilpres?"
"Embuh."
"Kok embuh mulu?"
"Embuh."
Tak begitu lama terdengar pintu rumah dibanting.
Embuh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H