Belum ada yang sampai, baru aku saja sepertinya. Mungkin hari ini aku bangun terlalu pagi. Atau jangan jangan sekarang hari libur? Ah, tak mungkin. Ini hari seperti hari kemarin.Â
Ada beberapa bangku rusak di lapangan, aku singkirkan. Pakunya bisa kena kaki siswa yang tak awas melihat jalan.Â
"Selamat pagi, " tahu tahu laki-laki itu sudah berdiri di hadapanku. Entah dari mana dia datang.Â
"Pak Umar? Umar Bakri? " tanyanya sambil mengulurkan tangan minta bersalaman.Â
"Bapak siapa? "
"Tapi Bapak Umar Bakri kan? "
"Iya."
"Saya utusan presiden. Saya ke sini membawa SK pengangkatan Bapak sebagai guru PPPK. "
Siapa yang tidak kaget. Lembaran itu sudah aku tunggu selama dua tahun. Tak sampai sampai juga.Â
Bukan hanya saya, janji pengangkatan PNS P3K guru memang menyebabkan. Dua tahun lebih bikin nasib kami terkatung-katung.Â
Sekarang surat itu sudah ada di depan mata. Siapa yang tidak bangga? Langsung aku rebut surat itu. Seandainya tidak kudengar suara teriakan istriku yang begitu kencang.Â
"Banguuuun.... Sudah sianggggg.... Emangnya bisa makan mimpi, Umar Bakri? "
Semua kembali biasa. Seperti nasibku sebagai guru PPPK. Semua tidak pasti kecuali ketidakpastian itu sendiri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H