Reformasi sudah jelas menggugat Dwi Fungsi ABRI. Tentara harus kembali ke barak. Biarkan urusan politik dan birokrasi ditangani oleh politisi dan birokrat.Â
Akhirnya, ABRI pun mereformasi dirinya. Mereka tak lagi melakukan Dwi Fungsi ABRI. Bupati atau walikota sudah dipilih langsung oleh rakyat. Demikian juga dengan gubernur.Â
Tak ada lagi wakil ABRI di parlemen. Parlemen sudah diisi oleh para politisi yang berebut kursi melalui pemilu.Â
Birokrasi juga sudah tidak boleh diisi oleh ABRI aktif. Sekarang bernama TNI, dan kepolisian sudah tidak termasuk sebagai bagiannya. Kecuali untuk hal yang berkaitan dengan keamanan, seperti di Kemenhan dan BIN.Â
Entah kenapa, kemudian muncul wacana untuk membolehkan TNI aktif menduduki jabatan di birokrasi. Kemunculan pertama dari Menko Luhut.Â
Kembalinya TNI aktif ke birokrasi jelas sebuah pengkhianatan terhadap Reformasi yang sudah menumpahkan darah para pemuda. Â Jangan sampai hal ini kembali terjadi.Â
Masih ada anggapan bahwa TNI memiliki keunggulan tersendiri. Darimana ukurannya?Â
Tidak pernah ada ukuran yang jelas untuk hal ini. Sehingga penolakan terhadap pendapat itu sangatlah wajar.Â
Dalam sebuah negara demokratis, justru tentaranya harus tunduk pada pemerintahan sipil. Pengelolaan negara dilakukan dengan memperhatikan cara cara demokratis.Â
Sudah cukup Dwi Fungsi di era Orde Baru yang otoriter. Ketika negara ini sudah melaju di jalan yang tepat, berdemokrasi, maka tak ada lagi supremasi tentara.Â
Jika ingin berkiprah di ranah sipil, maka tentara, mau tak mau, harus melepas diri dari lembaganya. Jadilah sipil untuk berkiprah di birokrasi.Â
Jangan khianati Reformasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H