Namanya Sinta. Aku mengenalnya ketika SMP. Dia satu kelas denganku. Dia selalu duduk di bagian depan. Selalu.Â
Aku sendiri lebih senang duduk di belakang. Aku selalu takut kalau ditanya guru. Padahal, pertanyaan guru kadang cuma tentang belajar.Â
Semalam belajar?Â
Ada materi yang sulit?Â
Kadang aku berkhayal pengin punya pacar seperti Sinta. Anaknya setiap hari selalu ceria. Tak pernah aku melihat wajah sedih Sinta. Sehingga, seluruh teman satu kelas tak ada yang menjadi musuhnya.Â
Suatu pagi Sinta sudah ada di kelas sendirian. Pas aku datang dia menghampiriku. Aku jadi gemeteran karena kikuk. Tapi, aku suka melihat senyum Sinta, pagi itu.Â
Kamu pinter.Â
Itu saja kata yang keluar dari mulut mungil Sinta. Terus kembali tempat duduk duduknya.Â
Semalaman aku tak bisa tidur. Selalu saja muncul wajah Sinta dengan senyumnya yang manis itu.Â
Kemudian aku ketemu Sinta beberapa hari lalu. Dia masih ceria. Tapi tidak seceria dulu waktu masih sekolah. Dia masih mengenalku. Justru aku yang nyaris pangling.Â
Aku sekarang tinggal di kota ini lagi. Kata Sinta sambil menyeka air matanya.Â
Aku sekarang hidup sendiri. Kata Sinta lagi sambil menyeka air matanya yang entah kenapa tak juga berhenti.Â
Aku sekarang..... Dan malam terasa begitu panjang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H