Kalau kami ke kampungku jangan sekali sekali sebut nama Kasdut tanpa embel-embel mbah. Â Karena Kasdut akan marah besar pada siapa pun yang hanya menyebutkan namanya tanpa gelar mbah di depannya.Â
Bukan berarti Anda sudah aman memanggilnya dengan sapaan Mas, atau Bapak. Kedua sapaan itu juga masih dianggapnya sebagai penghinaan.Â
Kalau orang di kampungku sudah kenal benar tabiat Kasdut. Dan, orang kampungku selalu menghormatinya sebagai mbah atau tetua kampungku.Â
"Rumah Kasdut di mana? " tanya orang tak dikenal itu.Â
Orang kampungku yang ditanya langsung menyingkir ketakutan. Kalau sampai Kasdut marah, dia bisa kena tulahnya juga.Â
"Rumah Kasdut di mana? " Orang tak dikenal itu malah berteriak.Â
Besoknya orang tak dikenal itu ditemukan sudah pingsan di pinggir kali.Â
Ya. Semua orang paham betul tingkah Kasdut yang hanya mau dipanggil mbah itu. Dialah penjaga kali di kampungku. Setelah pensiun dari preman, tentunya.Â
Jaman petrus dia sempat hilang beberapa tahun. Dan waktu kembali ke kampung sudah sangat berbeda. Tapi, sangarnya tidak pernah pudar.Â
Setelah pulang itulah Kasdut tak mau tinggal di tengah kampungku. Dia memilih tinggal di dekat kali.Â
Setiap hari kerjaannya adalah menanami pohon di sepanjang aliran sungai. Setelah aliran sungai sudah rimbun dengan pohon, Kasdut mulai melebarkan kawasan pohonnya ke bukit bukit yang gundul.Â
awalnya orang menganggap Kasdut gila. Akan tetapi pada akhirnya merasa telah ditolong Kasdut.
Jika dulu kampungku selalu bermasalah dengan air, sekarang tidak lagi. Itu semua berkat Kasdut.Â
Jasa itulah yang membuat kami tak keberatan memanggilnya mbah. Dan Kasdut sudah senang dengan itu semua.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H