Laki-laki itu sebentar duduk lalu berdiri lagi. Berjalan ke arah jendela ruang kantornya, tapi kemudian balik ke tempat duduk lagi. Wajahnya dilipat entah sudah berapa lipatan. Teh manis yang biasanya sudah tinggal setengah, kali ini masih teronggok begitu saja.Â
Hati laki-laki itu pasti sedang gundah. Persoalan yang menjadi penyebabnya sebetulnya sepele. Teman dekat yang selama ini selalu bersama, bahkan sudah seperti saudara sendiri, melontarkan kritik terhadap apa yang sedang dilakukan nya.Â
Kritik itu dilakukan pada saat rapat dengan pimpinan. Â Jadi, laki-laki itu merasa malu karena ditelanjangi oleh sahabatnya sendiri di depan pimpinan.Â
Jika bukan karena sahabat, laki-laki itu sudah pasti akan balik melontarkan kritik yang mematikan terhadap pengkritiknya itu. Bukan persoalan sulit karena laki-laki itu memang seorang orator berbakat sejak masih menjadi ketua osis di sekolah SMA dulu.Â
Tapi, laki-laki itu masih merasa bahwa dia tak boleh melakukan itu terhadap sahabatnya. Sehingga, Laki-laki itu sendiri bingung kenapa justru sahabatnya itu melakukan sesuatu yang selalu dicoba untuk dihindari dirinya.Â
Ya, laki-laki itu tahu banyak kelemahan sahabatnya. Akan tetapi, dia tidak mau merusak persahabatan dengan kritiknya. Bagi laki-laki itu, persahabatan lebih penting dari segala nya.Â
Di ruang lain, sahabat laki-laki itu justru merasa aneh dengan apa yang terjadi terakhir ini. Setelah dirinya mengkritik laki-laki yang selalu dianggap sebagai teman yang lebih dari sekedar teman itu, kini ada jarak yang dirasakan.Â
Padahal, sahabat laki-laki itu yakin jika kritik yang dilakukan nya adalah upaya untuk menyelamatkan laki-laki itu dari kemungkinan fatal akibatnya nanti. Dan sahabat laki-laki itu benar-benar tidak mengerti.Â
Sudah sering kita mendengar bahwa tak akan maju, baik orang, lembaga, atau sebuah bangsa jika tidak bisa mengelola kritik. Dengan kata lain, kritik adalah jalan yang harus dilalui jika ingin mencapai sebuah kemajuan.Â
Setiap tindakan, apa pun dan kapan pun, akan selalu memiliki celah atau kekurangan. Dengan adanya kritik, celah atau kekurangan itu dapat diketahui lebih awal sehingga penghindaran terhadap kemungkinan buruk akan dapat dilakukan lebih awal. Dampak negatif dapat diminimalisir.Â
Setiap budaya di dunia ini juga memiliki cara kritik yang berbeda-beda. Ada rakyat yang berjemur di alun-alun untuk mengkritik sikap rajanya. Ada juga simbolisasi lain untuk mengkritik orang yang dianggap terpandang dalam sebuah budaya. Yang jelas, setiap budaya memiliki cara sendiri sendiri untuk mengungkapkan kritik.Â
Di era sekarang, kritik dilakukan oleh pers . Bahkan pers sering disebut sebagai kekuatan atau lembaga keempat dalam sebuah negara demokratis. Kritik yang dilakukan pers sangat dibutuhkan dan perlu.Â
Orang orang di sekitar kekuasaan, dari zaman baheula akan selalu menghentikan kritik agar jangan sampai ke telinga pimpinan. Hanya kabar baik yang boleh lolos hingga sampai pimpinan.Â
Kondisi seperti ini lebih sering terjadi di negara negara otoriter. Sehingga bawahan akan selalu mengcoba menyenangkan pimpinan. Abs alias asal bapak senang.Â
Hampir semua pimpinan selalu mengatakan butuh kritik ketika bicara di forum forum resmi. Hanya saja, di belakang layar kadang muncul penghilangan dan pembungkaman.Â
Kondisi pers mulai lumpuh. Kini hadir media sosial. Semua orang bisa menjadi penyaji berita secara instan. Dan berita pun begitu berhamburan.Â
Melalui media sosial, kritik sering bersifat sangat pribadi. Latar belakang politik sering menjadi daya dorong kuat seseorang melakukan kritik. Akibatnya, seseorang bisa terus menerus melakukan kritik karena berharap pada keuntungan politis belaka.Â
Kembali pada laki-laki di awal tulisan ini. Laki-laki yang terluka akibat kritik yang dilontarkan oleh sahabat nya itu. Sementara, sahabat nya juga bingung sendiri. Karena maksud kritik yang dilakukan nya justru untuk menyelamatkan laki-laki itu.Â
Di zaman rezim Soeharto, berseliweran jargon "Boleh kritik asal kritik yang membangun". Apakah ada jenis-jenis kritik dan salah satunya adalah kritik membangun?Â
Tentu itu semua cuma akal-akalan rezim Soeharto untuk membungkam semua kritik yang mengarah kepada mereka. Kan mudah sekali untuk mengatakan sebuah kritik tidak membangun. Ukuran toh mereka yang pegang?Â
Jangan heran jika para penandatangan Petisi 50 hidupnya menjadi terlunta-lunta karena kebijakan orde Baru tentang kritik harus membangun ini.Â
Ketika anak anak BEM UI melakukan kritik terhadap Jokowi, serangan balik tak pelak lagi terjadi. Bahkan serangan dari mereka yang sering disebut buzzer atau pendengung terasa sudah melewati batas. Seakan akan ingin berkata, "Silakan kritik, asal siap dikuliti".
Dan Jokowi sendiri kemudian bicara tentang kritik santun. Seakan tak berbeda dengan rezim Soeharto yang mencoba menundukkan para pengkritik nya dengan kritik membangun, Jokowi mengistilahkan kritik sopan.Â
Kritik memang akan selalu seperti itu. Penyampai kritik dan penerima kritik tidak pernah sejalan. Mereka selalu punya alasan penyampaian dan penerimaan yang jauh berbeda.Â
Kritik sudah pasti sangat dibutuhkan. Akan tetapi, akan terus saja terjadi gesekan.Â
Orang orang bijak sih biasanya akan mencoba menerima kritik dan membangun berdasarkan kritik tersebut. Karena semua kritik pasti menyakitkan.Â
Siapkah kita membangun diri kita sendiri berdasarkan kritik yang kita terima?Â
Semakin kita mampu menerima kritik dengan baik, maka kita akan semakin dekat menuju keberhasilan.Â
Semoga!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H