Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melupakan Ki Hajar Dewantara

5 Juli 2021   08:06 Diperbarui: 5 Juli 2021   08:12 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ki Hajar tidak ingin menjadikan tempat pembelajaran nya tercerabut dari akar kehidupan masyarakat dan budaya tempat tumbuhnya.  Sehingga tempat pembelajaran itu tidak dinamai sekolah tapi taman. 

Taman adalah tempat bermain. Taman adalah tempat yang paling membahagiakan  anak-anak. Taman adalah tempat perkembangan sebuah kehidupan yang holistik. 

Dan belajar dalam sebuah kebahagiaan adalah belajar yang akan disukai siapa pun. Karena ketika seorang anak belajar dalam kondisi bahagia, maka otaknya akan terbuka mengolah semuanya menjadi pengalaman hidup yang berharga. 

Tak ada tugas demi tugas yang begitu membebani kehidupan anak. Apalagi jika tugas-tugas itu sama sekali tidak berhubungan dengan kehidupan anak. Apa hubungannya tugas menulis tugas dan wewenang DPR bagi kehidupan seorang anak?  Akal waras pasti akan mengatakan tidak ada manfaat apa Apa yang dikandungnya. Hanya beban kehidupan yang pasti akan mempengaruhi seorang anak dalam menghadapi masa depan nya. 

Kembali ke anak tadi yang sudah capek sekolah karena tugas tugas gurunya yang tak pernah usai, sementara emaknya selalu membombardir dengan omelan nya. Salah siapa? 

Si emak tentu sangat khawatir jika anaknya tidak memperhatikan pelajaran yang diberikan gurunya lewat grup WA atau sekali sekali lewat zoom meeting. Persoalannya, si emak tak pernah bisa faham dengan materi pembelajaran anak sekarang. Padahal, si emak sendiri lulusan SMA paling bagus di kampung nya. Bahkan ketika itu si emak selalu menjadi juara. 

Tapi kurikulum sekolah sendiri sudah berganti seenak udelnya sendiri. Bahkan ada kurikulum yang berlaku, kemudian langsung dibatalkan ketika menterinya berganti. 

Setiap ganti kurikulum selalu saja terjadi perumitan materi. Si emak bisa menjadi contoh konkret bahwa begitu banyak orang tua kalang kabut dengan pembelajaran putra putrinya. Jangan kan si emak yang cuma tamat SMA, banyak muncul keluhan dari ibu ibu yang sudah S3 terhadap materi pembelajaran anak-anak nya. 

Wajar kan jika si emak selalu bengak bengok kepada anak yang sebetulnya sangat disayanginya itu. Anak yang diharapkan memiliki nasib lebih baik dari dirinya itu. 

Jika anaknya lengah menyimak gurunya, maka akibatnya bisa fatal. Setiap akhir pembelajaran gurunya selalu memberikan tugas untuk dikerjakan. Jika anaknya tidak menyimak penjelasan gurunya, maka tugas gurunya itu tak bisa dikerjakan. Emaknya tak bisa membantu. Akibatnya, semua jalan menjadi buntu. 

Ada 10 mata pelajaran untuk anak kelas 7 atau kelas 1 SMP. Jumlah pelajaran yang terlalu banyak untuk anak-anak yang masih suka dan butuh bermain. Lagian, untuk apa jumlah pelajaran sebanyak itu kalau pada akhirnya juga akan dilupakan semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun