Anak itu bangun dengan wajah cemberut. Sementara ibunya terus memberondongnya dengan omelan yang panjangnya melebihi panjang kereta api.Â
Sebetulnya, anak itu rajin pergi sekolah sewaktu belum ada pagebluk yang sekarang semakin mengganas ini. Harapan untuk masuk sekolah kembali pupus ketika lonjakan penderita covid melonjak dengan lonjakan yang tak pernah terkirakan.Â
Kalau anak itu rajin ke sekolah bukan berarti senang dengan pembelajaran di kelas bersama gurunya. Anak itu senang di sekolah justru pada saat istirahat. Atau pada saat gurunya kosong tak bisa hadir di kelas.Â
Kalau istirahat, anak itu bisa bermain bersama teman-teman nya. Itu yang sangat menggembirakan. Anak itu bisa bercanda dan tertawa sepuasnya. Tak ada yang galak dan demen ngomelin seperti emak dan gurunya. Kalau kelas kosong dari guru juga anak itu senang karena bisa ngobrol apa saja dengan temannya. Kadang malah cerita tentang hantu yang pernah ditonton nya di film.Â
Sekarang anak itu benar-benar tersiksa ketika harus belajar di rumah. Harus melototin HP sepanjang waktu belajar. Kalau meleng sedikit dan ketahuan emaknya, pasti anak itu langsung diomelin. Dan panjang omelannya seperti gambar rel kereta yang sering dilakukan nya, sampai melewati kertas gambar yang tersedia.Â
Mau gak mau, suka gak suka, anak itu mesti konsentrasi pada HP itu. Sambil berpikir untuk buka game biar senang dikit belajar pjj nya.Â
Itulah wajah pendidikan saat ini. Anak-anak tak lagi punya secercah kebahagiaan pun ketika mendengar kata sekolah. Sekolah menjadi begitu menyeramkan. Tak ubah sebuah penjara yang dibanggakan.Â
Kenapa Ki Hajar tidak membuat sekolah tapi sebuah taman?Â
Ki Hajar Dewantara membuat Taman Siswa. Bukan sekadar nama biasa. Sebuah pilihan yang sangat jeli dan tentu memiliki kedalaman filosofi.Â