"Tidak apa. "
Ketika aku datang, Tio sudah sampai. Belum memesan apa apa kecuali kopi kesukaan nya. Tio tersenyum menyambutku.Â
"Sehat? "
"Kamu lihat sendiri kan, Tio? "
"Apa yang kulihat belum tentu apa yang terjadi. "
Betul juga kata Tio. Beberapa perselisihan terjadi karena aku menganggap Tio paham mauku. Aku tak mengucapkan apa mauku. Ketika Tio salah menerjemahkan, aku yang uring uringan.Â
Kadang aku merasa telah berbuat tidak adil terhadap laki-laki ini. Aku selalu menganggapnya tahu perasaan. Padahal orang tak ada yang tahu perasaan orang lain dengan benar. Kecuali dukun. Itu pun kalau yang asli. Dukun palsu juga hanya nebak nebak belaka.Â
"Kalau suatu saat, aku butuh kamu, bolehkah aku telpon? "
"Untuk apa? "
"Kalau aku butuh pertimbangan. Kamu kan tahu, dalam hal pertimbangan, selama ini aku mengandalkan kamu. "
"Iya, boleh. Tapi jangan sering-sering. "