Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Tubruk, Laki-laki Cemas, dan Kehidupanku Sendiri

23 Februari 2021   15:55 Diperbarui: 23 Februari 2021   16:06 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laki-laki itu datang memperkenalkan diri. Kemudian, minta izin pula duduk di bangku di depan ku. Aku silakan saja, kalau dia mau. Lagian malam ini, aku datang sendirian. 

Riri sibuk dengan proyek barunya. Vivi sedang pulang kampung karena orang tuanya sakit. Dan Vanya kecapaian dan malam ini hanya mau menghabiskan waktu bersama kasur kesayangan nya yang sudah satu minggu ditinggalkan nya. 

"Sendiri? "

Aku mengangguk. 

"Sering ke sini? "

Aku kembali mengangguk. Ditambah sedikit senyum. Dan laki-laki itu agak kikuk. 

"Selalu ngopi? "

Sekarang aku hanya tersenyum. 

"Kenapa kopi tubruk? "

Aku ingin jelaskan kalau kegemaran ku minum kopi sudah lama sekali. Sejak SMA.  Karena di kampungku hanya ada sekolah SMP, maka ketika SMA aku harus ngekos di kota kabupaten. Seminggu sekali pulang. Biasanya jumat siang pulang. Berangkat ke kosan lagi Minggu sore. 

Ketika aku pulang kampung inilah, bapakku yang maniak kopi selalu memintaku membuatkannya. Saat membuat kopi buat bapak inilah aku akan mencicipi nya dulu sebelum menyuguhkan buat bapak. 

Dan aroma kopi yang masih panas seakan melekat begitu dalam. Sehingga aku tak bisa lagi lari dari harumnya. Juga untuk mengingat bapakku yang sekarang sudah tinggal di alam baka. 

Tapi aku urung menceritakan itu semua. Karena laki-laki terburu buru pergi setelah ada yang menelpon nya. Mungkin pacarnya yang minta dijemput. 

Malam berikutnya, ketika aku datang masih sendirian, laki-laki itu meminta izin untuk duduk di depan ku lagi. 

Wajahnya agak segar malam ini. Parfumnya juga agak beda. Entah kenapa aku membaui kelainan pada laki-laki itu. Tapi, biarkan saja. 

"Aku belum tahu kenapa kamu suka kopi tubruk? "

Kopi tubruk itu mencerminkan kesederhanaan dan kesabaran. Kita tak bisa langsung meminum setelah kopi itu jadi. Kita hirup dulu aroma nya yang khas. Baru kita nikmat setelah ampas nya turun semua. 

Gampang juga membuat nya. Sangat sederhana dibandingkan kopi jenis lainnya. 

Kopi? 

Ya, kopi itu kehidupan. Kata bapakku. Perpaduan antara manis dan pahit. Tak enak kalo hanya pahit. Tak enak kalo hanya manis. Perpaduan nya yang membuatnya menjadi menggairahkan. 

Sebelum aku sempat membuka mulut. Lagi lagi telepon laki-laki itu berbunyi. Dan lagi lagi ia tampak gugup. Kemudian meminta izin pergi. Mungkin pacar nya yang minta jemput. 

Tepat pukul 10.00 kopiku tandas. Demikian juga kehidupan. Pasti akan berakhir. Juga cinta? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun