Ketika aku pulang kampung inilah, bapakku yang maniak kopi selalu memintaku membuatkannya. Saat membuat kopi buat bapak inilah aku akan mencicipi nya dulu sebelum menyuguhkan buat bapak.Â
Dan aroma kopi yang masih panas seakan melekat begitu dalam. Sehingga aku tak bisa lagi lari dari harumnya. Juga untuk mengingat bapakku yang sekarang sudah tinggal di alam baka.Â
Tapi aku urung menceritakan itu semua. Karena laki-laki terburu buru pergi setelah ada yang menelpon nya. Mungkin pacarnya yang minta dijemput.Â
Malam berikutnya, ketika aku datang masih sendirian, laki-laki itu meminta izin untuk duduk di depan ku lagi.Â
Wajahnya agak segar malam ini. Parfumnya juga agak beda. Entah kenapa aku membaui kelainan pada laki-laki itu. Tapi, biarkan saja.Â
"Aku belum tahu kenapa kamu suka kopi tubruk? "
Kopi tubruk itu mencerminkan kesederhanaan dan kesabaran. Kita tak bisa langsung meminum setelah kopi itu jadi. Kita hirup dulu aroma nya yang khas. Baru kita nikmat setelah ampas nya turun semua.Â
Gampang juga membuat nya. Sangat sederhana dibandingkan kopi jenis lainnya.Â
Kopi?Â
Ya, kopi itu kehidupan. Kata bapakku. Perpaduan antara manis dan pahit. Tak enak kalo hanya pahit. Tak enak kalo hanya manis. Perpaduan nya yang membuatnya menjadi menggairahkan.Â
Sebelum aku sempat membuka mulut. Lagi lagi telepon laki-laki itu berbunyi. Dan lagi lagi ia tampak gugup. Kemudian meminta izin pergi. Mungkin pacar nya yang minta jemput.Â