Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bisikan Maut

19 Februari 2021   15:52 Diperbarui: 19 Februari 2021   15:54 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengar. Aku dengar gunjingan itu. Tapi, apakah aku harus peduli? Untuk apa? Untuk memuaskan mereka? 

Tidak. Aku bukan orang seperti itu. Jalanku, akulah yang menentukan. Bukan orang lain. Apalagi kalo karena cuma takut digosipin. Aku laki-laki sejati. 

Sudah lima bulan aku pisah ranjang. Iya. Hanya kebetulan saja tinggal satu rumah. Kami seperti dua makhluk asing yang harus bertemu di sebuah planet asing. 

Tak ada kata kata. 

Dan kehadiran Diana bukan penyebab semua itu. Kehadiran Diana memang sebuah jalan keluar dari komunikasi kami yang sudah tak bisa bertemu. Jalan sudah bersimpangan. 

"Istrimu cantik, Mam. "

"Apakah cinta hadir karena kecantikan? "

"Banyak orang ingin memiliki. "

"Biarlah."

Aku tak bisa putar balik. Apalagi jalanan yang aku ambil sempit. Jadi, hanya ada pilihan: lurus atau jurang. Tak mungkin aku memilih jurang. Otakku masih komplit. Belum pindah ke dengkul. 

"Tapi Diana terlalu dewasa. "

"Tua? "

"Iya. Itu naksudku? "

"Kamu kenal Pangeran dari Inggris? "

"Putri Diana? "

"Iya."

"Siapa yang tak kenal? Cantik dan... "

"Apa yang terjadi? "

"Tapi kamu bukan... "

Aku tinggal pergi saja. Dia sudah salah dari otaknya. Sehingga tidak mungkin meneruskan sebuah diskusi. 

"Yakin? "

"Setiap langkahku adalah keyakinan. "

"Dipikirlah lebih serius. "

"Aku tak pernah main main. "

Tak ada yang menyetujuiku. Semua menentangnya. Bukan aku kalau mundur jika ada yang menentang langkahnya. 

Semakin ditentang berarti semakin harus.  Semakin memacu adrenalin. Semakin memdekat untuk ditundukkan. 

"Apa sih keistimewaannya? "

"Sulit untuk diucapkan. "

"Sebegitu sakitnya? "

"Ya."

Dan mereka mulai mengakui kegigihan ku. Tak ada lagi yang menentangnya. Paling tidak jika di depan mata. Kalau gunjingan di belakang, biarkan saja. 

Hari ini, aku sudah putuskan untuk melamarnya.  Dan aku datang sendiri. Karena aku tak ingin dunia ini ribut dengan otak otak mereka yang tak bisa menolerir sedikit perbedaan.

Diana sudah siap. Aku ajak dia ke kedai kopi yang biasa kita singgahi. Suasana yang sangat nyaman. 

Aku rindu bisikkan Diana. Maut. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun