Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pelukan Terakhir (3)

27 Januari 2021   13:21 Diperbarui: 27 Januari 2021   13:27 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak mungkin meneruskan semua ini. Harus segera diakhiri. Secepatnya. Sesegera mungkin. Sebelum segala terlambat. 

"Ada apa? "

"Bisa ke rumah? "

Aku berpikir kembali. Sebaiknya, aku ke rumahnya memang. Mungkin ini waktu yang paling tepat.

"Bisa, Mas? "

"Mungkin nanti sore. Saya selesaikan dulu tugas dari kepala sekolah. "

Perjalanan ke rumah Savana seakan menjadi begitu jauh. Perasaan lama sekali perjalanan ini. Padahal, biasanya cuma sekelebatan juga sudah sampai. 

Savana sendiri. Sedang menghadap televisi. Tapi saya yakin dia tidak sedang melihat televisi. Acara olahraga tak pernah sedikit pun membuat Savana ingin menonton. 

"Ada apa? "

"Aku ingin hubungan kita diresmikan saja. "

"Tak mungkin. Aku seorang pegawai negeri. Dilarang punya istri dua. "

"Karena pegawai negeri atau karena takut istri? "

"Aku tak pernah takut istri. Tapi rasa sayang ku pada anak anak yang tak memungkinkan aku untuk melakukan lebih jauh. "

"Aku selalu bangga sama kami, Sal. "

Ada jus jambu yang sudah disediakan Savana. Aku ragu untuk menyentuhnya. Aku jadi kagok sendiri. 

"Minum jusnya. "

"Baik."

"Jangan kaki begitu dong. Gak bayar, kok. "

Terpaksa aku meminum jus yang rasanya sudah berubah itu. Biasanya begitu menyegarkan, kenapa sekarang terasa begitu menyakitkan ketika melewati tenggorokan? 

"Raisya bagaimana? "

"Kamu tahu sendiri. Dia sering menanyakan kenapa kamu jadi jarang ke sini. "

Raisya memang selama pjj tak lagi mendapatkan keluhan. Beberapa guru malah menunjukkan nilai ulangan Raisya yang berubah menjadi bagus. 

"Siapa dulu dalamnya? "

Aku cuma bisa tersenyum. Akan kah berubah menjadi malas belajar kalau aku tak mau datang ke rumahnya lagi atau dia tetap akan rajin? Pertanyaan ini sulit aku jawab. Karena pertanyaan berikut nya akan lebih berat. Bagaimana kalau Raisya kembali bandel? 

Perhatian yang kuberikan kepada Raisya memang cukup banyak. Dia sudah begitu dekat. Beberapa kali malah datang ke sekolah membawakan makan siang untuk ku. 

Mungkin Raisya memang butuh figur seorang ayah yang sudah meninggalkannya. Justru di saat Raisya membutuhkan. 

"Mungkin aku tak datang ke sini lagi. "

"Jangan sama sekali. Saya lihat Raisya masih membutuhkan kamu, Mas. Datang lah sekali kali demi Raisya. "

Aku dekati Savat. Aku peluk dia. Seandainya dulu kita disatukan. Ah, jangan mengandai ngandai. Waktu tak mungkin berputar ke belakang. 

Mungkin ini pelukan terakhir. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun