Entah kenapa, saya tak pernah merasa bosan terhadap dua makhluk satu saudara itu. Emang, dua duanya lahir dari perut kedele. Bukan kedele lokal pula, tapi kedele impor. Apakah berarti saya makan makanan luar negeri? Jangan jangan, saya masih ada keturunan bule sehingga seneng makan tahu dan tempe yang terbuat dari kedele impor.Â
Tidak begitu juga. Waktu di kampung dulu, tetangga bikin tempe dari kedele yang ditanam bapak di kebun. Atau tetangga lainnya, juga di kebun. Tidak pernah impor kedele dia.Â
Rasanya tetap lebih enak. Karena kedele yang dibikin tempe oleh tetanggaku emang kedele yang baru dipanen dari kebun. Bukan kedele yang sudah berumur lama karena harus mengarungi lautan Pasifik segala.Â
Kalau tahu memang rada elite sedikite. Biasanya bapak beli tahu kalau pergi ke pasar. Kebetulan bapak pedagang kambing jadi selalu ke pasar kalau pas hari pasaran kambing. Di kampungku sampai saat ini belum ada pabrik tahu. Makan tahu jadinya tidak sesering tempe, memang.Â
Teman lauk, kadang ada kadang juga tidak ada. Kalau sudah ada tempe tak ada tahu. Kalau ada tahu tak ada tempe. Sayur juga diambil dari daging tak bertulang di kebun sendiri. Apa itu daging tak bertulang? Nangka muda atau orang kampungku menyebutnya Gori.Â
Kalau musim pete ya, makan pete. Kalau musim jengkol ya, makan jengkol. Tapi pete dan jengkol bergantung musim. Kalau tak musim, mereka pasti tak ada. Karena kampungku bukan jakarta. Kalau Jakarta ksn tak mengenal musim. Kapan saja ada pete. Cuma beda harga saja.Â
Sedangkan tempe tak pernah mengenal musim. Bahkan ketika musim kawin pun selalu ada makhluk yang satu ini. Apalagi kalau cuma musim pacaran.Â
Oleh karena itu, sumber protein dan gizi lainnya untuk orang orang di kampungku adalah tempe. Baru kemudian tahu. Baru kemudian yang lainnya. Selain pizza, McD, atau makanan kota lainnya. Karena di kampung ku yang begituan tak ada.Â
Jadi sebetulnya agak salah judul juga sih. Seharusnya tahu dan tempe inilah yang sumber primer. Terus yang sekunder itu telor. Baru yang mewah adalah ayamnya sendiri.Â