Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kopi, Nafas Hidup Seorang Penulis?

19 Januari 2021   21:38 Diperbarui: 19 Januari 2021   21:41 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi hitam (kompascom)

Seorang penulis Prancis tidak pernah tidur malam. Ia selalu tidur pada waktu Subuh, dan bangun sore. Kemudian dia akan melakoni malam malamnya dengan menulis. 

"Kopi adalah segerombolan pasukan yang masuk ke dalam perutku. Pasukan yang membangkitkan ide ide di otakku. Dan pasukan yang menemaniku terus dalam penjelajahan. "

Kira kira begitulah pikiran penulis Prancis tersebut. Sebuah ibarat yang memang cukup tepat. Karena kopi, bagi seorang penulis adalah nafas hidup. 

Kopi sendiri, ada yang mengatakan bahwa pertama kali ditemukan oleh para sufi. Kopi akan menjadi sajian malam ketika para sufi melakukan ibadah ibadah malamnya. Kopi seperti sepasukan penghantar para sufi menuju ekstase. 

Gambaran seorang penulis memang ada dua. Rokok di tangan kanan dan kopi di tangan kiri. Terus kapan nulis? 

Menulis itu kan proses berpikir. Tidak mungkin menulis tanpa ada proses pemikiran yang mengawalinya. Dan terus seiring sejalan. Hingga usai. Hingga lahir sebuah tulisan. 

Karena proses yang begitu sublim inilah yang kadang membuat seorang penulis menganggap tulisan sebagai seorang anak. Dilahirkan begitu sulit dan rumit. Segala upaya dan daya begitu besar tercurahkan di dalam nya. 

Permenungan memerlukan konsentrasi . Rokok selalu menjadi teman setia untuk membuat pikiran kita terkonsentrasi secara intens. Kopi menjadi pemompa. Menjadi nafas dalam setiap langkahnya. 

Tidak selalu juga. 

Dulu, setiap menulis, saya sendiri selalu bertiga. Saya, rokok, dan kopi. Bukan gorengan. Gorengan tetap anak tiri. 

Tanpa rokok, kedirian saya belum sempurna. Ada sesuatu yang hilang. Ada sesuatu yang kurang. Sehingga sering duduk berjam jam, tanpa satu tulisan pun dilahirkan. 

Dengan rokok kadang prosesnya menjadi begitu lancar. Seakan ada dorongan yang kuat dalam setiap hembusan asapnya. Kita bahkan kelabakan untuk mengatur agar mereka tetap berbaris rapi tanda harus tendang tendangan. 

Ternyata hanya mitos itu semua. Sekarang tanpa rokok pun aku bisa melakukannya. Kreativitas tetap bisa dijaga agar tetap menyala. Jangan mau dibohongi rokok. Kesehatan lebih penting dalam hidup kita. Sayangi paru parumu. 

Tapi tidak dengan kopi. Kopi itu pasti bini pertama. Kemana pun kau mengembara. Berapa wanita pun kaupeluk. Suatu saat kamu akan kembali pada wanita paling setia dalam hidupmu. Istri pertama. Cinta paling cinta. Paling purba. 

Kopi adalah kesetiaan. Kopi adalah nafas. Tanpa kopi kau mati. Tanpa kopi tulisanmu hanya rangkaian kata belaka. 

Ngopi saja dulu, jika kau rindu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun