Seperti biasa, sambil menunggu malam aku mampir di taman. Kadang cuma buat liatin anak anak main bola di taman itu. Kadang cuma buat ngabisin rokok dan kopi pahit dari pedagang kopi sepedaan. Kadang cuma buat baca baca artikel atau cerpen di Kompasiana.Â
"Kok seneng nongkrong di taman sih? "
"Nunggu macet abis. "
"Di Jakarta baru gak macet menjelang kiamat. "
"Aku suka liat anak anak main bola. "
Pokoknya banyak alasan akhirnya siapin buat orang yang suka iseng ngurusin kepentingan orang lain. Mereka kaum resek.Â
Sore ini. Sebetulnya sore udah lewat, tapi malam juga belum penuh benar. Mungkin malam dalam bentuk nya yang kanak. Â Aku datang ke taman itu. Sebuah buku sudah aku siapkan. Untuk sekadar teman. Bukunya Mahbub Junaedi. Anak kemarin sore pasti pasti gak kenal nama itu.Â
Aku sudah duduk di taman itu. Sudah membuka bungkus rokok untuk menjadi ahli hisap paling setia.Â
"Kopi? "
"Biasa ya. "
"Siap bos. "
Tiba-tiba ada seorang perempuan masih lumayan muda. Mungkin usia 35 tahun. Usia paling ranum untuk seorang perempuan. Sudah dewasa. Sekaligus masih belum penuh meninggalkan kecerian nya. Biasanya laki-laki paling demen yang begini.Â
Dia menangis.Â
Disampingnya ada seorang anak kecil. Tangannya digandeng. Ada sendu di wajah anak itu juga.Â
Pasti korban perselingkuhan.Â
Walaupun aku laki-laki, tapi aku paling benci perselingkuhan. Tak tahu diuntung laki-laki itu. Maunya diraih semua. Walaupun sudah pasti tak akan mampu.Â
"Maaf, Bu, kenapa ibu menangis? "
Aku yakin dia akan menceritakan perselingkuhan suaminya. Kemudian suaminya pergi bersama perempuan itu dengan meninggalkan seorang anak kecil.Â
Aku coba menawarkan padanya untuk ngopi di kafe yang tak jauh dari taman itu.Â
"Aku yang ketahuan selingkuh. Suamiku marah. Dan aku diusir dari rumah. "
"Kok anaknya diusir juga? "
"Ini anak selingkuhan ku. Dia pergi karena takut sama suamiku. Anaknya malah dititipkan padaku. "
Aku cuma bisa melongo. Aku ingin segera pulang. Semoga istriku masih setia menungguku di rumah.Â