Apa pun yang terjadi, aku tak boleh bicara. Apalagi berkomentar terhadap kejadian di situ. Pantangan yang sama sekali tak boleh dilanggar. Akibatnya, tak bisa pulang.Â
Kamu siap, kan?Â
Aku mengangguk. Â Tak ada jalan lain kecuali jalan yang ditawarkan Umat kepadaku. Â Mau gak mau, siap gak siap, segalanya sudah tak diperlukan lagi. Tinggal jalani saja.Â
Kamu harus tetap di belakang ku. Lihat saja. Kalau ada barang yang hendak kamu beli karena kamu menyukai nya, beri tanda ke aku.Â
Aku mengangguk. Tak mungkin membantah apa yang dikatakan Umar.Â
Oh, iya. Umar itu sebetulnya teman sekolah sejak SD, SMP, dan bahkan SMA. Â Setelah lulus SMA, Umar menggeluti bakat yang diwarisi dari bapaknya menjadi dukun.Â
Obot yang dibawa Umar meliuk liuk diterpa angin. Bayangan dari benda benda di pinggir lorong itu seakan berubah menjadi makhluk hidup yang bergoyang-goyang mengikuti arah api obor.Â
Bulu kudukku mulai merinding. Â Tapi aku tetap berjalan pelan di belakang Umar. Aku dengar samar samar Umar melafalkan mantra mantra itu.Â
Ketika sampai di sebuah gerbang, mendadak angin besar meniup obor yang dibawa Umar. Obor itu langsung mati. Kondisi menjadi gelap gulita. Hanya tampak samar samar bayangan Umar berjalan pelan di depan ku. Sambil terus melafalkan mantra yang semakin sayup.Â