Sudah ditunggu, Mas.Â
Laki-laki tua itu menyambutku dengan muka yang penuh kecemasan. Aku agak telat beberapa menit, memang. Tapi, apalah artinya cuma beberapa menit.Â
Cepat sedikit, Mas.Â
Laki-laki tua itu kembali memperlihatkan kecemasan yang begitu akut ketika aku agak lama mencopot tali sepatu.Â
Setiap Jumat Kliwon, aku memang harus datang ke rumah ini. Rumah mewah milik seorang janda. Kegiatan ini sudah hampir setahun aku lakoni.Â
Hutangmu menumpuk, Kin.Â
Seorang teman mengingatkan. Â Aku memang baru belajar bisnis, ketika tiba-tiba korona datang menghajar bisnisku ini. Hingga luluh lantak. Pesanan yang tadinya mengalir bagai bah, mendadak ditunda bahkan dibatalkan. Â Barang di gudang menumpuk dan banyak juga yang membusuk.Â
Giliran berikutnya adalah ketika tagihan mulai datang. Pada awalnya, masih bisa diselamatkan dengan janji. Tapi, akhirnya mereka main preman. Beberapa kali runahku didatangi preman dengan muka sangar.Â
Anak dan istri akhirnya harus diungsikan. Aku hadapi segalanya sendiri.Â
Hingga kemudian sahabatku Umar datang. Dia sekarang mendalami ilmu tak kasat mata. Dialah yang kemudian menuntunku ke rumah ini.Â