Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak Tua, di Luar Banyak Angin

22 Desember 2020   10:40 Diperbarui: 22 Desember 2020   10:50 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tahu jika pak tua hendak pergi. Sudah dua kali dia seret kakinya yang  mulai sulit berjalan itu menuju arah pintu. Kemudian dia mencoba membuka kunci pintu tapi tak berhasil.  

Pak tua tampak kecewa. Kemudian dia masuk lagi ke kamarnya. Membawa anak kunci pintu yang terlihat sudah karatan. Utak atik beberapa kali. Tetap tak berhasil membuka pintu itu. 

Wajahnya murung. Belum pernah aku melihat wajah semurung itu di wajah pak tua.  Biasanya cuma sekadar masam jika ada yang kurang berkenan di hati. 

Sudah lama sekali aku mengikuti setiap langkah pak tua. Ketika dia masih memiliki istri yang sangat cantik. Ketika setiap pagi, pak tua bangun lebih dulu untuk membuatkan kopi hangat untuk istri yang sangat dicintainya itu. 

Pak tua dulunya seorang guru sejarah di sebuah SMP.  Karena dia sering bercerita sejarah kepadaku, walaupun aku tak tahu persis apa yang diceritakan pak tua. Aku tetap mencoba diam mendengarkan hanya untuk menyenangkan pak tua. 

Istrinya pak tua sendiri entah kerja apa dan dimana mana.  Selalu pergi ketika pak tua sudah berangkat mengajar. Selalu menggunakan baju baju bagus ketika pergi. Dan selalu tampak bahagia ketika meninggal rumah. 

Kadang pulang larut malam. Kadang juga setengah mabok.  Selalu pulang dengan menyewa mobil.  Turun dari mobil dijemput pak tua dengan hati hati. 

Hampir setiap hari aku menyaksikan kejadian itu.  Aku pengen liat pak tua marah pada istrinya itu. Tapi, tak pernah itu terjadi. 

Selalu setiap pagi, pak tua membuatkan kopi untuk istrinya itu. Meski kadang cuma teronggok di meja karena istrinya buru buru pergi. 

Sampai kemudian istrinya itu tak pernah pulang lagi. Dan pak tua tinggal sendiri. 

Aku yang kemudian menemani pak tua. Setiap pagi, diajaknya aku jalan keliling komplek kecil itu. Dan di jalan banyak sekali yang menyapa nya. 

Wajah pak tua itu memang seperti sedang memendam rindu yang begitu sangat. Mungkin ia rindu sama istrinya yang sudah lama pergi itu. Entah. 

Pak tua memandangiku yang tiduran di bangku dekat pintu. Ada tetes air mata kulihat jatuh. Baru kali ini aku melihat pak tua menangis. 

Aku meloncat mendekatinya. Aku menggesekkan tubuhku di kaki pak tua.  Ya, wajah itu seperti hendak runtuh. Rindunya begitu tebal menggantung. Aku merasakan betul dari belaian pak tua di bulu bukuku. 

Pak tua bangun. Mengintip keluar jendela. Tapi, di luar tampak begitu riuh angin. Tubuh tentanya tak akan tahan terhadap angin Desember yang cukup kencang. 

Pak tua, di luar banyak angin. Ingin ku katakan seperti itu. Agar pak tua kembali duduk tenang. Tapi, aku cuma seekor anjing. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun