Aku yang kemudian menemani pak tua. Setiap pagi, diajaknya aku jalan keliling komplek kecil itu. Dan di jalan banyak sekali yang menyapa nya.Â
Wajah pak tua itu memang seperti sedang memendam rindu yang begitu sangat. Mungkin ia rindu sama istrinya yang sudah lama pergi itu. Entah.Â
Pak tua memandangiku yang tiduran di bangku dekat pintu. Ada tetes air mata kulihat jatuh. Baru kali ini aku melihat pak tua menangis.Â
Aku meloncat mendekatinya. Aku menggesekkan tubuhku di kaki pak tua. Â Ya, wajah itu seperti hendak runtuh. Rindunya begitu tebal menggantung. Aku merasakan betul dari belaian pak tua di bulu bukuku.Â
Pak tua bangun. Mengintip keluar jendela. Tapi, di luar tampak begitu riuh angin. Tubuh tentanya tak akan tahan terhadap angin Desember yang cukup kencang.Â
Pak tua, di luar banyak angin. Ingin ku katakan seperti itu. Agar pak tua kembali duduk tenang. Tapi, aku cuma seekor anjing.Â