Sejak itu, hubunganku dengan Sisi mulai tak sebaik dulu. Sisi merasa posisi seorang istri itu sejajar dengan suami. Tak ada pekerjaan istri atau pekerjaan suami. Dalam sebuah keluarga posisi harus seimbang.Â
Jangan tanya kapan aku mencuci baju atau menyetrika. Kami selalu bergantian. Masak juga gitu.Â
"Kalau aku bisa kerja, kamu juga bisa masak kan? " pertanyaan yang lebih pas disebut pernyataan.Â
Sebetulnya, aku sendiri setuju dengan konsep kekerasan simbolik dalam sebuah keluarga yang diyakini Sisi.Â
Tapi, persoalan seorang anak tak mungkin dikompromikan. Sehingga kami berpisah baik baik.Â
"Viona punya kebebasan sebesar kebebasanku, Si, " kataku meyakinkan Sisi.Â
Setiap hari Viona memasak untukku. Dengan suka cita. Aku membantu mencuci baju. Viona juga tak keberatan jika segera punya anak.Â
"Tak apa aku bekerja di rumah. Walaupun tak digaji. Walaupun tak ada batasan jam kerja, " kata Viona suatu pagi. Setelah terjadi pergumulan seru seorang pengantin baru.Â
"Tak akan memuduhku melakukan kekerasan simbolik kan? "
"Apa itu kekerasan simbolik? " tanya Viona manja. Seakan hendak menyelesaikan pertempuran yang baru saja dibikin lunas.Â
Terpaksa aku ladenin. Biar tak dianggap melakukan kekerasan simbolik.Â