Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Anda Melakukan Kekerasan Simbolik

2 November 2020   16:28 Diperbarui: 2 November 2020   16:36 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tuduhan itu langsung ditujukan pada diriku. Padahal, aku sudah sedemikian rupa menjaga diri agar tetap menjadi suami terbaik bagi Viona, istri keduaku. 

"Sebentar lagi, kamu pasti akan menyuruh Viona keluar dari pekerjaan dia. Kamu akan menjadikan Viona sebagai penghuni dapur, " kata Sisi, istri pertamaku saat ketemu di kantin kantor. 

Aku dan Sisi satu gedung walaupun lain perusahaan. Dulu, aku mengenalnya ketika makan siang di kantin ini juga. Setelah resmi cerai kami masih sering ketemu, bahkan ngobrol. Tak ada rasa benci karena kami berpisah karena kesadaran berdua atas perbedaan prinsip hidup. 

Sisi seorang perempuan tak biasa. Karena Sisi juga sangat getol membela hak hak perempuan. Terutama berkaitan dengan kekerasan simbolik. 

"Aku belum siap punya anak, " kata Sisi. Dulu, ketika perkawinan mereka menginjak usia tahun ketiga. Tahun kritis untuk sebuah perkawinan. 

"Tapi aku tak bisa mengindari pertanyaan orangtuaku, " kataku meminta pemahaman nya.

"Siapa juga yang akan menjaga anak kita? "

"Masa aku? "

"Kamu anggap aku yang harus menjaga anak? "

"Terus kenapa harus aku juga? "

"Karena kamu seorang istri. "

Sejak itu, hubunganku dengan Sisi mulai tak sebaik dulu. Sisi merasa posisi seorang istri itu sejajar dengan suami. Tak ada pekerjaan istri atau pekerjaan suami. Dalam sebuah keluarga posisi harus seimbang. 

Jangan tanya kapan aku mencuci baju atau menyetrika. Kami selalu bergantian. Masak juga gitu. 

"Kalau aku bisa kerja, kamu juga bisa masak kan? " pertanyaan yang lebih pas disebut pernyataan. 

Sebetulnya, aku sendiri setuju dengan konsep kekerasan simbolik dalam sebuah keluarga yang diyakini Sisi. 

Tapi, persoalan seorang anak tak mungkin dikompromikan. Sehingga kami berpisah baik baik. 

"Viona punya kebebasan sebesar kebebasanku, Si, " kataku meyakinkan Sisi. 

Setiap hari Viona memasak untukku. Dengan suka cita. Aku membantu mencuci baju. Viona juga tak keberatan jika segera punya anak. 

"Tak apa aku bekerja di rumah. Walaupun tak digaji. Walaupun tak ada batasan jam kerja, " kata Viona suatu pagi. Setelah terjadi pergumulan seru seorang pengantin baru. 

"Tak akan memuduhku melakukan kekerasan simbolik kan? "

"Apa itu kekerasan simbolik? " tanya Viona manja. Seakan hendak menyelesaikan pertempuran yang baru saja dibikin lunas. 

Terpaksa aku ladenin. Biar tak dianggap melakukan kekerasan simbolik. 

Iya kan? 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun