Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Tukang Mandiin Mayat Ngambek

19 Oktober 2020   05:42 Diperbarui: 19 Oktober 2020   05:48 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamdi mendadak jadi perbincangan. Menjadi orang paling penting saat ini.  Padahal, setiap hari biasanya tak ada yang peduli. Bahkan ketika dia seharian kelaparan karena tak punya uang untuk membeli penganjal perut. 

Kamdi cuma laki laki tua yang tinggal di belakang musola sebaga marbot musola. Dulu dia tak punya tempat tinggal, karena musola butuh seorang marbot maka ada jamaah yang mengajak Kamdi untuk jadi marbot musola. Lumayan dapat tempat tinggal gratis. Tak perlu menggelandang tidur di emper toko. 

Setelah tukang mandi mayat di tempat kami meninggal, dan tak ada orang yang mau menggantikan nya, Kamdi pun terpaksa belajar menggantikannya. Sekarang Kamdi yang menjadi tukang memandikan mayat di tempat ku. 

Yah, namanya tukang mandiin mayat, dapat kerjaan ya... ketika ada orang meninggal. Kalau tak ada orang meninggal, mereka tak dipedulikan. 

Kamdi juga. Tak ada yang peduli ketika dia kelaparan karena tak ada sesuatu yang bisa dimakan nya. Tapi, selalu ada yang teriak jika musola kotor sedikit saja. 

Hari ini, kompleks perumahan kami dibikin geger. Gara-gara nya begini. 

Pagi tadi salah satu warga meninggal mendadak. Meninggal di rumahnya sehabis solat subuh. Kata istrinya, lakinya itu tiduran setelah solat subuh. Biasanya terdengar dengkur keras kalau dia tidur. 

Pagi tadi suaminya tak terdengar mendengkur saay tidur. Istrinya curiga . Dan benar, setelah dipegang nadinya, suaminya telah pergi ke alam baka. 

Tentu cerita biasa, kan? 

Menjadi cerita heboh ketika mayat itu hendak dimandikan.  Orang orang mencari Kamdi untuk memandikan jenazah tersebut. Tapi Kamdi tak ada di tempat tinggal nya. 

"Tak ada orang, " kata anak karang taruna yang ditugasi memanggil Kamdi. 

"Ada yang tahu dia kemana? " tanya Pak Erte. 

"Subuh tadi tak ikut jemaah. "

Belum. Belum heboh. Orang masih berharap sebentar lagi juga Kamdi nongol. Biasanya dia cuma nyari plastik bekas keliling komplek. 

"Belum ada juga, " anak karang taruna itu melaporkan lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. 

Keluarga jenazah mulai gelisah. Bagaimana kalau Kamdi tak nongol juga. 

"Tak ada orang lain yang bisa memandikan? " tanya salah satu anak jenazah kepada ketua erte. 

Pak Erte cuma bisa menggeleng. Hari gini memang susah mencari tukang pemandi mayat. Tak ada gajinya. Dan yang jelas, perlu keberanian lebih. Ada orang yang tak berani melihat jenazah, apalagi memandikan nya. 

Udah gitu, terkadang orang menganggap sepele. Pemandi mayat selalu dikasih upah asal asalan. Serelanya. Seperti tak dibutuhkan saja. 

Kamdi terkadang sedih justru ketika selesai memandikan mayat, membuka amplop, dan cuma uang puluhan ribu dua atau tiga lembar saja yang nongkrong dengan sopan di situ. Betul sih, perut Kamdi dapat terselamatkan beberapa hari. Tapi, hari hari berikutnya Kamdi harus berpikir keras untuk mencari sesuap nasi. Karena tidak setiap bulan ada yang mati. 

"Belum ada juga. Sepi. Rumahnya dikunci, " laporan anak karang taruna untuk yang ketiga kali. Saat itu, waktu sudah nyaris masuk waktu zuhur. 

"Bagaimana ini, Pak Erte? " dan mereka mulai panik. 

Satu komplek resah. Karena mereka semua juga akan mati. Kalau tak ada orang yang memandikan berarti tak bisa dikubur. Dan mereka tak mau membayangkan hal tersebut terjadi pada dirinya. 

Dan, satu komplek sekarang menyadari bahwa di rumah kecil di belakang musola ada makhluk hidup bernama Kamdi yang selama ini dicuekin dan tak pernah dianggap ada. Ketika orang itu, tak ada justru mereka baru sadar jika sebetulnya mereka butuh Kamdi. 

Sejak saat itu, dalam hati mereka mulai berjanji untuk memperhatikan nasib Kamdi. Entah janji beneran atau cuma pura pura. 

Dan ketika dari jauh ada laki-laki berkopiah datang, semua orang yang ada di situ langsung berdiri semua. Dan mereka semua berharap jika laki-laki berpeci tersebut adalah Kamdi. 

..... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun