"Ada yang tahu dia kemana? " tanya Pak Erte.Â
"Subuh tadi tak ikut jemaah. "
Belum. Belum heboh. Orang masih berharap sebentar lagi juga Kamdi nongol. Biasanya dia cuma nyari plastik bekas keliling komplek.Â
"Belum ada juga, " anak karang taruna itu melaporkan lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh.Â
Keluarga jenazah mulai gelisah. Bagaimana kalau Kamdi tak nongol juga.Â
"Tak ada orang lain yang bisa memandikan? " tanya salah satu anak jenazah kepada ketua erte.Â
Pak Erte cuma bisa menggeleng. Hari gini memang susah mencari tukang pemandi mayat. Tak ada gajinya. Dan yang jelas, perlu keberanian lebih. Ada orang yang tak berani melihat jenazah, apalagi memandikan nya.Â
Udah gitu, terkadang orang menganggap sepele. Pemandi mayat selalu dikasih upah asal asalan. Serelanya. Seperti tak dibutuhkan saja.Â
Kamdi terkadang sedih justru ketika selesai memandikan mayat, membuka amplop, dan cuma uang puluhan ribu dua atau tiga lembar saja yang nongkrong dengan sopan di situ. Betul sih, perut Kamdi dapat terselamatkan beberapa hari. Tapi, hari hari berikutnya Kamdi harus berpikir keras untuk mencari sesuap nasi. Karena tidak setiap bulan ada yang mati.Â
"Belum ada juga. Sepi. Rumahnya dikunci, " laporan anak karang taruna untuk yang ketiga kali. Saat itu, waktu sudah nyaris masuk waktu zuhur.Â
"Bagaimana ini, Pak Erte? " dan mereka mulai panik.Â