Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Mbah Jeneng

4 Oktober 2020   05:26 Diperbarui: 4 Oktober 2020   05:27 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan candi dari batu seperti yang kalian kenal. Candi di kampung itu justru daerah hutan yang masih asri. Di apit oleh sungai yang membelah diri bagian atas, kemudian menyatu lagi di bagian bawah. 

Dan orang menyebutnya sebagai Candi Mbah Jeneng. 

Karena pohon pohon yang masih asri, mata air di dalam candi tak pernah habis. Jika musim kemarau tiba, tinggal mata air di dalam Candi Mbah Jeneng yang menyelematkan warga kampung itu dari kehausan. 

Yang tampak membuat Candi tampak semakin rimbun adalah pohon bambu yang sangat rapat memutari kompleks Candi Mbah Jeneng.  Mungkin karena bambu bambu inilah, air di situ dapat disimpan dengan baik. 

"Kamu sudah mandi? "

"Belum."

"Cepat sana, mumpung ada temannya. "

Ya. Tak ada anak yang berani mandi sendirian di dalam Candi.  Walaupun mungkin tak ada apa, tapi selalu ada perasaan dilihatin seseorang. 

Jadi, selalu anak anak mandi ramai-ramai. Dan salah satunya, harus orang tua atau orang dewasa. 

Karena pernah ada anak yang hilang karena teman temannya lari duluan setelah selesai mandi. Anak yang ditinggal tak pulang semalaman. Baru ketemu besok paginya di dalam rumpun bambu. 

Warga kampung itu salah satunya bernama Kamdi. Mungkin kalian sudah agak akrab dengan nama Kamdi. Mohon maaf, saja. 

"Belum selesai, Kam? " tanya Wak Karyo yang kebetulan lewat di depan rumah Kamdi. 

Perlu digarisbawahi di sini. Kamdi belum lama menikah. Istrinya baru mulai hamil. Sekitar lima bulan. 

Kamdi sedang membuat gubuk kecil di sebelah rumah mertuanya. 

"Tak enak numpang terus, Mas, " kata istri Kamdi ingin dibuatkan gubuk tempat mereka akan mengarungi samudra kehidupan masa depan bersama si calon bayi. 

"Iya. Tapi duit ku belum cukup, " kata Kamdi. 

"Mulai saja dulu, Mas. Sambil jalan. Anggap saja sebagai rumah tumbuh, " kata istri Kamdi sambil mendadak mencium bibit Kamdi. 

Kamdi tentu gelagapan. Kamdi tak bisa lagi bicara apa apa. Kecuali menyerah pada gelora istrinya yang sedang menggemuruh itu. 

Dan sekarang gubuk itu sudah berdiri. Tapi di bagian belakang belum tertutup. Kayu sengon sudah habis ditebang. Dan hanya cukup untuk dinding depan dan samping. 

"Ambil bambu di Candi saja, " kata Kamdi di dalam hati. 

Sebagai penduduk kampung situ juga, Kamdi sebetulnya tahu bahwa mengambil apa pun dari Candi adalah pantangan. Siapa pun yang berani mengambil kayu atau bambu di Candi Mbah Jeneng berarti siap menerima kesialan. 

Tapi dasar Kamdi, kadang otaknya susah diatur. Apalagi setelah makan telor buaya yang ditemukan di dekat Candi Mbah Jeneng, kadang Kamdi merasa diri lebih baik dari semua orang Kampung. Kamdi merasa mendapatkan titisan Mbah Jeneng. 

"Nanti malam sudah harus bergerak, " Kamdi memperhatikan wajah bininya yang kelihatan damai setelah pertempuran habis habisan itu. 

Malam itu juga Kamdi bergerak. Sendirian. Karena kalau ngajak teman pasti akan bocor ke mana-mana. Kamdi belum berani menghadapi risiko itu. 

Dengan bekal parang yang sudah ditanamkan, Kamdi pergi ke Candi Mbah Jeneng.  Tekadnya sudah bulat. Meminta bambu Candi untuk menutup bagian belakang rumah barunya. 

Kamdi berhasil memotong sepuluh bambu. Dengan badan berpeluh, Kamdi menggotongnya menjadi dua ikatan. Lima bambu lima bambu. 

Setelah dua kali balik, Kamdi merasa capek juga. Langsung tertidur pulas. 

Anehnya, ketika Kamdi bangun, tak ada tuh sepuluh bambu yang semalam berhasil diambilnya dari Candi. 

"Dikemanakan bambu yang di belakang rumah? " tanya Kamdi kepada istrinya yang sedang hendak mencuci. 

"Bambu? " istrinya ikut bingung. 

"Semalam aku ambil bambu dari Candi Mbah Jeneng. "

"Ambil bambu dari Candi Mbah jeneng? "

"Iya."

"Dari saya bangun tak melihat apa pun. "

Kamdi penasaran. Kamdi datangi Candi Mbah Jeneng. Kamdi ingin memastikan kalau semalam dia benar-benar telah memotong bambu. 

Apa yang dilihat Kamdi benar benar bikin melongo. Pohon bambu itu terlihat masih utuh. Tak ada bekas orang menebang. Sama sekali. 

Pantesan kayu dan bambu Candi Mbah Jeneng masih asri. Ternyata ada rahasia yang tak mungkin dinalar oleh siapa pun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun