Tapi dasar Kamdi, kadang otaknya susah diatur. Apalagi setelah makan telor buaya yang ditemukan di dekat Candi Mbah Jeneng, kadang Kamdi merasa diri lebih baik dari semua orang Kampung. Kamdi merasa mendapatkan titisan Mbah Jeneng.Â
"Nanti malam sudah harus bergerak, " Kamdi memperhatikan wajah bininya yang kelihatan damai setelah pertempuran habis habisan itu.Â
Malam itu juga Kamdi bergerak. Sendirian. Karena kalau ngajak teman pasti akan bocor ke mana-mana. Kamdi belum berani menghadapi risiko itu.Â
Dengan bekal parang yang sudah ditanamkan, Kamdi pergi ke Candi Mbah Jeneng. Â Tekadnya sudah bulat. Meminta bambu Candi untuk menutup bagian belakang rumah barunya.Â
Kamdi berhasil memotong sepuluh bambu. Dengan badan berpeluh, Kamdi menggotongnya menjadi dua ikatan. Lima bambu lima bambu.Â
Setelah dua kali balik, Kamdi merasa capek juga. Langsung tertidur pulas.Â
Anehnya, ketika Kamdi bangun, tak ada tuh sepuluh bambu yang semalam berhasil diambilnya dari Candi.Â
"Dikemanakan bambu yang di belakang rumah? " tanya Kamdi kepada istrinya yang sedang hendak mencuci.Â
"Bambu? " istrinya ikut bingung.Â
"Semalam aku ambil bambu dari Candi Mbah Jeneng. "
"Ambil bambu dari Candi Mbah jeneng? "