Warga kampung itu salah satunya bernama Kamdi. Mungkin kalian sudah agak akrab dengan nama Kamdi. Mohon maaf, saja.Â
"Belum selesai, Kam? " tanya Wak Karyo yang kebetulan lewat di depan rumah Kamdi.Â
Perlu digarisbawahi di sini. Kamdi belum lama menikah. Istrinya baru mulai hamil. Sekitar lima bulan.Â
Kamdi sedang membuat gubuk kecil di sebelah rumah mertuanya.Â
"Tak enak numpang terus, Mas, " kata istri Kamdi ingin dibuatkan gubuk tempat mereka akan mengarungi samudra kehidupan masa depan bersama si calon bayi.Â
"Iya. Tapi duit ku belum cukup, " kata Kamdi.Â
"Mulai saja dulu, Mas. Sambil jalan. Anggap saja sebagai rumah tumbuh, " kata istri Kamdi sambil mendadak mencium bibit Kamdi.Â
Kamdi tentu gelagapan. Kamdi tak bisa lagi bicara apa apa. Kecuali menyerah pada gelora istrinya yang sedang menggemuruh itu.Â
Dan sekarang gubuk itu sudah berdiri. Tapi di bagian belakang belum tertutup. Kayu sengon sudah habis ditebang. Dan hanya cukup untuk dinding depan dan samping.Â
"Ambil bambu di Candi saja, " kata Kamdi di dalam hati.Â
Sebagai penduduk kampung situ juga, Kamdi sebetulnya tahu bahwa mengambil apa pun dari Candi adalah pantangan. Siapa pun yang berani mengambil kayu atau bambu di Candi Mbah Jeneng berarti siap menerima kesialan.Â